Selamat Idul Fitri, Pandemi!
Seusai membacakan surat yasin untuk 100 hari meninggalnya seseorang, tepat pada malam lebaran di sebuah undangan kirim doa dan tahlil bersama. Sebut saja pak Misran, ia adalah tukang gali kubur yang cukup kawakan dan moncer di desanya. Ia bercerita bahwa dirinya baru saja dihubungi salah satu keluarga untuk menggali kuburan orang yang baru saja meninggal dunia dengan dugaan positif corona. Pak Misran yang biasanya menggali kuburan dengan ukuran kurang lebih panjang satu setengah meter kali lebar satu meter, kali ini ia akan menggali kuburan dengan ukuran yang berbeda dari biasanya. Kita tahu, orang yang meninggal karena corona ada penanganan khusus sesuai protokol kesehatan, ia harus dikubur dengan peti khusus. Jadi secara otomatis, pak Misran harus menggali dengan ukuran yang lebih luas. Seusai menggali, pak Misran disarankan tim tenaga medis untuk meninggalkan tempat. Tugas dinas pak Misran yang biasanya menggali sekaligus menutup kuburan, untuk kasus ini, pak Misran hanya ditugasi untuk menggali kuburan saja, tidak perlu menutupnya. Tenaga medis dengan APD prima akan menguburnya sendiri. Tapi, ala bisa karena terbiasa. Ada yang tidak tepat dalam penguburan kala itu. Tenaga medis tetaplah tenaga medis, mereka lebih terbiasa memegang suntik, selang infus ataupun resep obat daripada memegang cangkul. Mereka tak cukup piawai melakukan kerja-kerja berat semacam itu. Akibatnya, penutupan kuburan yang biasanya berdurasi tidak sampai setengah jam, tim tenaga medis melakukannya hampir 3 jam. Satu persoalan teknis yang cukup mendatangkan empati.
Demi mencegah penyebaran virus corona, aparatur pemerintah daerah berkerjasama dengan keamanan mulai memberlakukan aturan-aturan baru termasuk menutup gang-gang dengan portal, kayu ataupun besi. Niat awalnya untuk mengontrol mobilisasi dan menekan lalu lalang warga. Namun, ada ketidakberesan dari aturan ini. Satu contoh saja, di daerah saya ada satu pasar yang cukup terkenal di kecamatan Paciran, bahkan di Lamongan. Tak heran, jika setiap pagi sampai siang jalan utama dekat pasar acapkali macet. Masyarakat yang sering memakai gang-gang kecil sebagai jalan tikus untuk menghindari kemacetan, mereka terpaksa harus melewati jalan utama yang masih dibuka, salah satunya adalah jalan dekat pasar. Akibatnya, potesi kemacetan semakin besar lalu kerumunan masyarakat akan bertambah. Satu konsekuensi logis yang dilupakan pemerintah; mereka dapat menutup gang-gang, namun mereka tidak akan cukup berani menggenjot skala aktivitas rutin sehari-hari yang dijalankan masyarakat. Maka, peraturan penutupan gang di tengah iklim masyarakat desa saya yang agak ngeyelan menjadi peraturan common sense yang terkesan banal dan lucu. Dia terlihat gagah di diktat namun lemah di implementasi. Pandangan sosiologi, pranata masyarakat kudu menimbang kondisi lingkungan sosialnya. Achdiat dalam bukunya Keretakan dan Ketegangan pernah menuliskan pertanyaan, “Apa yang didahulukan dalam pendidikan (kesadaran)? Orang-orangnya yang harus dididik (disadarkan) dulu supaya masyarakatnya menjadi beres? atau masyarakatnya dulu yang harus dibikin beres, supaya orang-orangnya menjadi terdidik (sadar)?” Pertanyaan tahun 1956 yang mungkin masih membingungkan dan belum mampu terjawab hingga hari ini.
Kemarin, gerakan berbunyi #IndonesiaTerserah sempat hangat diperbincangkan. Semacam gerakan ksputusasaan dengan kondisi yang tak kunjung membaik, sementara masyarakat masih ketawa-ketiwi sana-sini. Contoh saja, video-video yang menunjukkan betapa ramainya mall-mall dan pusat perbelanjaan menjelang hari raya. Mungkin di benak masyarakat kita, terjangkit corona tidaklah lebih buruk daripada tidak mendapat baju baru untuk dipakai waktu lebaran. Pandangan antropolog, untuk melakukan tranformasi atau perubahan kebudayaan (tradisi) amatlah sukar dan membutuhkan waktu yang lama. Membeli barang-barang baru menjelang hari raya bukan lagi sekedar lifestyle, namun dia sudah mengakar demikian dalam kepada masyarakat, dikonsumsi setiap tahun lalu –secara sadar atau tidak– menjadi tradisi bahkan konstruk sosial. Mungkin kata Agus Mulyadi ada benarnya, di tengah angka positif semakin bertambah dengan masyarakat yang masih ngeyel, salah satu cara menekan angka positif adalah dengan tidak mengadakan tes rapid. Biarkan masyarakat hidup seperti biasa, melakukan kegiatan sehari-hari seolah-olah tidak ada yang namanya cinta corona di antara kita. Pernah mendengar istilah “Cassandra Paradox”? Dahulu di Yunani, ada seorang perempuan bernama Cassandra, dia diberi keistimewaan dewa-dewa dapat meramal masa depan, namun di sisi lain dia dikutuk bahwa ramalannya tidak akan pernah dipercaya manusia. Salah satu cerita paradoks paling tragic-komik. Sepengamatan pendek saya, mungkin anjuran-anjuran yang berasal dari pemerintah dan tenaga medis rasa-rasanya hanya terdengar sebagai dongeng cassandra paradox. Dia ada, tapi unfaedah .
Terimakasih telah membuang waktu untuk membaca curhatan ini, 3 paragraf di atas memang tidak ada korelasi sama sekali. Sengaja menulis dengan fragmen yang patah. Memang, dari awal saya tidak berniat — atau lebih tepatnya tidak mampu — untuk menuliskan opini-opini kritis yang memberi solusi konkrit ataupun esei mendalam yang didaktis. Saya hanya curhat, tidak lebih. Selamat idul fitri, corona pandemi. Mohon maaf lahir batin, kosong-kosong ya? Sudah ya ngelencernya, waktunya istirahat dari perjalanan panjangmu. 🙂