Tentang Solidaritas Media dan Narsisme PMII
Kamis tanggal 25 Juni ada yang berbeda di sekitar jalan Jokotole, tepatnya pada jalur menuju kantor Pemkab Pamekasan. Terlihat pemuda-pemudi dengan jumlah yang lumayan besar dengan dresscode biru sedang begitu semangat menyanyikan lagu-lagu heroik seperti Buruh Tani dan Darah Juang.
Dengan satu suara satu komando yang solid, aksi demo terlihat begitu ‘sangar’. Mereka adalah para mahasiswa-mahasiswi yang tergabung dalam organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Salah satu organisasi kemahasiswaan besar yang mempunyai nilai historis cemerlang dan berpengaruh di Indonesia.
Para kader PMII Pamekasan itu bermaksud untuk menyuarakan suara-suara minor, yang mungkin, perlu untuk diaspirasikan demi kemaslahatan bersama. Suara minor itu berbunyi kurang lebih, mendesak Bupati Pamekasan untuk merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pamekasan, dalam hal ini adalah mencabut perizinan pertambangan bahan galian C di wilayah kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan, yang dianggap ilegal – secara administratif — dan berpotensi besar merusak kawasan lingkungan di sekitarnya. Pernah dengar tragedi perlawanan Salim Kancil? Kasusnya hampir mirip dengan itu.
Kita tahu, bahan galian menurut UU nomor 11 tahun 1967 terbagi menjadi 3, — sebelum diperbarui tahun 2009– ; pertama, bahan galian golongan A, yaitu bahan galian strategis untuk kepentingan pertahanan, keamanan dan perekonomian oknum-oknum tertentu Negara, seperti; minyak bumi, batu bara dan gas alam. Kedua, bahan galian golongan B, bahan galian vital untuk menjamin hajat hidup sebagian orang orang banyak seperti; besi, tembaga, emas, platina, perak dan sebagainya. Ketiga, bahan galian C, bahan galian yang tidak termasuk golongan A dan B. Contoh bahan galian C adalah pasir, marmer, nitrat, asbes dan sebagainya.
Klimaks demonstrasi terjadi ketika Bupati Pamekasan tidak kunjung menemui para demonstran, mereka mencoba menerobos keamanan, dan akhirnya terjadi bentrok. Lagi-lagi. Demo PMII berakhir chaos. Jauh sebelum itu, tragedi bentrok juga dialami PMII Jember ketika sedang melakukan aksi demonstrasi terkait perubahan saluran irigasi PT Semen Imasco Asiatic Puger yang berdampak pada ketidakstabilan lingkungan. Demonstasi di depan Pemkab Jember itu, seperti kita tahu, berakhir ricuh. Subjeknya sama, antara pihak kepolisian dan demonstran.
Sama seperti itu, dalam aksi demo di depan Pemkab Pamekasan, salah satu kader PMII Pamekasan (diketahui bernama Ahmad Rofiqi, ketua Rayon Sakera PMII Komisariat IAIN Madura) mengalami luka-luka sebab mendapat penganiayaan dari salah satu oknum kepolisian.
Saya bukan hendak mempersoalkan siapa yang sebenarnya salah dan bertanggungjawab atas tragedi bentrok itu. Saya hanya tertarik untuk sedikit mengulas dan mempertanyakan gerakan media yang dimobilisasi PMII hari ini, yaitu gerakan nge-twit bareng dengan hastag #PMIIBergerak.
Gerakan ini diniatkan sebagai bentuk empati seluruh kader PMII se-Indonesia kepada sahabat Rofiqi yang menjadi korban dari aksi demonstrasi PMII Pamekasan dan sebagai kecaman atas tindakan represif oknum polisi. Biar bagaimanapun, lebih-lebih di konsep negara demokrasi, represifitas tidak boleh dibenarkan.
Sebagai kader PMII yang mungkin masih perlu belajar lagi soal gerakan, saya bertanya-tanya dalam hati, apa sih manfaat paling konkrit dari gerakan hastag #PMIIBergerak jika memang hastag itu sudah bertengger di puncak tranding twitter? Apakah gerakan ini bermaksud untuk menunjukkan jika PMII adalah organisasi kemahasiswaan dengan jumlah kader yang besar? Namun yang menjadi ironis, meskipun gerakan ini begitu masif dan ramai digencarkan, hastag #PMIIBergerak tidak mampu menduduki puncak tranding hari ini.
Atau jika gerakan ini bermaksud mengisyaratkan bahwa PMII adalah organisasi dengan kader yang milenial dan dinamis, mungkin isyarat itu tak cukup terpenuhi. Sebab kader PMII belum banyak yang memilih twitter sebagai social media untuk berselancar dunia maya.
Saya tidak bermaksud menafikan bahwa solidaritas media lebih rapuh daripada solidaritas lapangan, satu contoh, aktivisme fans K-pop yang kemarin sempat membikin Trump gigit jari lewat penggembosan salah satu kampanyenya (bisa dibaca lebih lengkap dalam esai di akun Facebook Made Supriatma). Sebagaimana anda tahu, fans K-pop yang jumlahnya sangat banyak itu melakukan aktivisme online yang sistemik dan terorganisir. Dan berhasil.
Namun, bagaimana dengan aktivisme online yang dilakukan PMII dengan hastagnya itu? Apa orientasi dari gerakan hastag #PMIIBergerak? Mungkinkah gerakan itu hanya menjadi gejala narsisme kolektif kader PMII?
Saya hanya mengajak untuk belajar kembali dari gerakan-gerakan hastag yang sebelumnya sempat mampang di twitter. Mulai dari #KalijagaMenggugat sampai #UINMALANGSADAR, apakah gerakan bernuansa “virtual” itu memberi dampak nyata atau paling tidak esensi yang dapat dirasakan? Jika pun ada, apakah hasil itu lahir dari hastag tersebut? Bukan dari hasil inisiatif advokasi khusus ataupun perlawanan secara “birokratis” lewat badan eksekutif mahasiswa kepada birokrat kampus tersebut?
Saya sempat berfikir bahwa saya merasa menjadi orang paling naif dalam melihat fenomena ini, diakui ataupun tidak, bahwa kita memang tak dapat menghindar ataupun mengelak dari iklim-iklim narsistik sosial media hari ini. gerakan hastag #PMIIBergerak adalah salah satunya. Pekikan-pekikan yang sering menjadi ilustrasi demo seperti “Jika ada seribu orang yang memperjuangkan kebenaran, maka pastikan, saya satu di antaranya.” Mungkin suatu hari nanti akan berganti menjadi lebih inovatif dan kekinian, berbunyi “Jika ada seribu orang yang nge-twit, maka pastikan, saya satu di antaranya.” wqwq~
Jujur, sebagai kader PMII, saya cukup sebel dengan gerakan hastag yang menurut saya memiliki sisi kelabilan yang cukup gawat tersebut. Kenapa sih PMII ikut-ikutan segala? Apa tidak ada bentuk gerakan yang lebih substansial lagi? Petisi atau apa gitu kek? Hehe.~