Now Reading
Antropologi Kampus: Seni Hidup di Universitas Jember

Antropologi Kampus: Seni Hidup di Universitas Jember

Lingkungan kampus bisa dibilang merupakan sebuah miniatur dari negara. Sebab, di dalamnya ada pemerintah yaitu rektorat, dekanat, dan jajaran dosen, rakyat yaitu para mahasiswa dan pegawai, dan hukum yaitu peraturan dan tata tertib sebagaimana sebuah negara.

Untuk bisa hidup dengan nyaman dan teratur di kampus, seorang mahasiswa harus memahami antropologi kampus.
Antropologi—yang berasal dari Bahasa Yunani, Anthrophos (manusia) dan Logos (ilmu)—kampus bisa dipahami sebagai ilmu untuk mengerti dan paham kehidupan manusia-manusia di kampus. Melalui antropologi kampus, para mahasiswa bisa menjalani kehidupan di kampus dengan nyaman, karena mereka sudah punya prinsip yang kuat sehingga bisa beradu argumen, aktif di organisasi, dan memaksimalkan kompetensinya tanpa paksaan dari manapun dan siapapun. Selain itu, mahasiswa juga bisa mengklasifikasikan bahwa di dalam kehidupan kampus terdapat setidaknya tiga tipikal mahasiswa: pertama, KuPu-KuPu (Kuliah pulang-kuliah pulang) yang biasanya digambarkan dengan mahasiswa yang hanya punya rutinitas kuliah pulang kuliah pulang,  menomorsatukan aktivitas perkuliahan dan nilai, sehingga selesai kuliah langsung pulang. Kedua, adalah tipikal mahasiswa KuRa-KuRa (kuliah rapat-kuliah rapat), menggambarkan mahasiswa yang kelewat aktif di organisasi, kadanh sampai melupakan perkuliahan. Ketiga, adalah tipikal mahasiswa hedonis, jenis sebutan untuk mahasiswa yang menggunakan lebih banyak waktunya untuk bersenang-senang dan menghamburkan uang. Klasifikasi tiga tipikal mahasiswa yang di atas tentu tidak dapat dipukulrata. Intinya, tidak semuanya seperti itu.

Sebagai mahasiswa, kita merupakan garda terdepan intelektual di tengah masyarakat, sehingga sebisa mungkin harus dapat merubah pola tatanan masyarakat menjadi jauh lebih baik, diawali dengan membenahi mindset yang merupakan dasar dari segala tindakan dan nantinya merembet ke action.

Antropologi kampus penting untuk mengetahui bagaimana kehidupan di kampus agar bisa beradaptasi di dalamnya, juga memahami macam-macam tipologi mahasiswa, sehingga bisa memilih dan mengilhami salah satu dari tipologi-tipologi tersebut. Menjadikan mahasiswa berkarakter serta berpendirian teguh dan tak goyah dengan berbagai tawaran apapun, yang tidak sesuai dengan hati nurani dan pendirian awal.

Mengenai budaya dan keanekaragaman suku, di Unej, sebagian besar mahasiswanya adalah orang dari suku Madura. Ya, hal ini dikarenakan Unej bertempat di Kabupaten Jember yang mayoritas penduduknya adalah suku Madura, atau minimal bisa berbicara dengan bahasa Madura. Sedangkan, sebagaimana kita tahu bahwa, intonasi Suku Madura saat berbicara seolah-olah menunjukkan bahwa ia sedang marah. Padahal, sebenarnya tidak seperti itu kenyataannya. Dengan mempelajari antropologi kampus, mahasiswa tidak akan kesusu salah paham. Sebab, di antropologi kampus, mahasiswa diajari untuk mengenali karakter setiap mahasiswa yang ada di sana, yang pada hal ini adalah orang Madura. Mahasiswa dituntun untuk bisa memahami seperti apa karakteristik Suku Madura sehingga tidak beranggapan buruk karena sebenarnya orang Madura itu sama sekali tidak kasar, hanya intonasi bicaranya saja yang menyebabkan terkesan seperti itu. Untuk itu, kenali dulu karakter orang Madura, kemudian bersosialisasi, dan pada akhirnya terbiasa lalu bisa nyaman.

Melalui antropologi kampus juga Mahasiswa bisa mengerti pada sebuah tanggung jawab yang terbebankan kepadanya, yakni tanggung jawab sosial. Sehingga, selain dituntut untuk kritis, mahasiswa juga harus mengajak sesamanya agar bisa kritis sepertinya, caranya yaitu dengan melakukan pendekatan kepada mereka dan memberitahukan bahwa dengan bersikap kritis, seseorang bisa memiliki wawasan yang luas dan tentunya memiliki manfaat yang banyak.

Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengetahui sebab-musabab mengapa mereka ini bisa bersikap apatis seperti itu. Nah, setelah diketahui penyebabnya, baru bisa eksekusi dengan memberikan pengaruh-pengaruh baik seperti berdiskusi yang mengasah daya kritis dan obrolan-obrolan yang mengarah ke sana.

Tanggung jawab sosial yang terbeban kepada mahasiswa juga membuat mahasiswa harus peka terhadap sesamanya, yang kebetulan kurang memiliki perilaku yang baik atau bisa dikatakan memiliki perilaku buruk, yang tidak mematuhi norma dan aturan kampus.

Hal ini bukan bermaksud menggurui karena sebenarnya mereka paham bahwa berbuat seperti itu adalah tidak baik dan tidak sesuai dengan pemahaman tentang antropologi kampus. Namun, ada hal lain yang membuat mereka berbuat begitu, salah satunya adalah lingkungan atau lingkar pergaulan yang buruk, yang menyebabkan mereka berbuat begitu juga. Sehingga mereka bisa diklasifikasikan dalam tipologi mahasiswa yang hidup di lingkungan yang buruk sehingga mereka ikut buruk.
Solusi yang mungkin bisa dicoba ialah dengan melakukan pendekatan dan memberi pengertian bahwa lingkungan yang baik merupakan sesuatu yang lebih asik dibanding lingkungan yang membuat mereka merasa nyaman saat ini.

Untuk melakukan ini, kita tak bisa langsung melakukan gebrakan. Kita ikuti dulu alurnya, baru perlahan-lahan kita ubah. Kalau orang Jawa, istilahnya “ngeli ananging tan keli” (mengikuti arus tetapi tak terbawa arus)
Sebagaimana dikatakan di awal bahwa, di kampus terdapat keanekaragaman budaya, yang mana terkadang tidak sesuai dengan norma dan agama yang kita anut untuk menyikapi itu, kita harus memahami dulu bahwa Islam merupakan agama damai dan rahmatan lil ‘alamin. Dalam Islam, utamanya kita sebagai orang ahlus sunnah wal jamaah, terdapat prinsip tasamuh (toleransi), selama mereka tidak mengusik kita, ya biarkan saja, lebih lebih kalau non-muslim. Jika mereka muslim, maka sebisa mungkin kita menuntunnya ke arah islam yang benar, sesuai dengan tuntunan Nabi dan para ulama dengan catatan melalui cara yang lembut dan perlahan.

Salah satu misi mahasiswa merupakan merubah pola pikir masyarakat menjadi lebih maju. Jadi, antropologi kampus sangat erat kaitannya dengan mahasiswa jika dipraktekkan ke masyarakat dengan cara terjun dan berbaur dengan mereka, memahami, lalu secara perlahan mulai melakukan perubahan. Jangan langsung merubah dan tidak mau terjun, agar tidak menjadi seperti kata Tan Malaka, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali“. Untuk itu, diperlukan metode yang tepat dalam mempraktekkan hal ini. Salah satu ajaran leluhur Jawa mengajarkan bahwa sebelum merubah alam semesta ini, seseorang harus merubah dirinya sendiri terlebih dahulu, lalu keluarganya, lalu masyarakat, negara, bahkan dunia. Menjadi mahasiswa bukan berarti langsung menjadi lebih pintar dari masyarakat pada umumnya. Terkadang bahkan sering, masyarakat merupakan guru untuk mendapat ilmu yang tidak pernah didapatkan di kampus.

Suatu instansi pasti memiliki keberagaman budaya yang dipegang oleh anggotanya. Termasuk juga kampus. Untuk menanggapi keberagaman tersebut, kita harus bisa melakukan pendekatan dan pembauran agar bisa hidup dalam keberagaman dengan damai, tentram, dan nyaman.

 

Hasil notulensi dari Rencana Tindak Lanjut Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) 2020 Rayon PMII FIB. Ditulis oleh Muhammad Rizqi Hasan, mahasiswa Sastra Indonesia 2020.

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top