Now Reading
Bermain Politik Kampus

Bermain Politik Kampus

Terimakasih saya ucapkan kepada pihak yang sudah mau menayangkan tulisan ini. Mungkin tulisan ini akan membuat kehidupan saya di kampus sedikit tidak baik-baik saja. Mungkin juga setelah tayangnya tulisan ini, posisi saya entah di mana dan keadaan sayabagaimana. Tulisan ini saya tulis dengan penuh kesadaran dan bukan tulisan pesanan dari kubu manapun: internal maupun eksternal. Sebab, ini saya tulis berdasarkan apa yang saya rasakan dan alami selama 4 semester saya berkuliah di sini, di salah satu universitas di Jember. Tulisan ini mungkin tidak bermanfaat bagi Anda, tapi sebelum itu, izinkan saya mengucapkan salam yang menunjukan identitas, serta salam yang menumbuhkan rasa solidaritas dan rasa senasib: Hidup Mahasiswa! Juga salam perjuangan yang menandakan kita selalu menjadi garda terdepan bagi pihak yang selalu dirugikan oleh para elit: Hidup Rakyat Indonesia!

Sering kita dengar saat ospek kampus, fakultas, maupun jurusan, bahwa kampus atau universitas merupakan “miniatur negara”. Mengapa demikian? Sebab, di kampus, kita tidak hanya diajarkan dan dituntut untuk memahami materi-materi perkuliahan saja. Namun, kita juga berorganisasi dan mengembangkan bakat minat, selayaknya kehidupan kita di sebuah negara. Namun kenyataannya, keadaan di lapangan sangat berbanding terbalik. Kita sebagai mahasiswa dibatasi untuk berproses, kita terkadang seperti dikekang oleh pihak-pihak tertentu. Kenapa saya berani mengatakan itu? Sebab, banyak dari teman saya yang juga merasakannya. 

Kembali lagi pada pembahasan, bagaimana dapat dikatakan miniatur negara, sedangkan arti kata miniatur adalah ‘hampir sama dengan bentuk nyatanya’, tetapi kenyataannya, di kampus dan fakultas saya tidak ada badan eksekutif yang mengawasi semua kegiatan ormawa dan UKM? Juga mengawasi kebijakan-kebijakan kampus yang dikeluarkan oleh pihak rektorat dan dekanat? Ya, penerapan adagium ‘kampus adalah miniatur negara’ ternyata tidak sesempurna itu. Katanya kampus mengajarkan nilai-nilai idealisme, yang katanya idelisme yang benar-benar murni selalu terdapat pada jiwa manusia, utamanya yang menyandang gelar “mahasiswa”; juga kampus katanya mengajarkan para mahasiswanya  untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis, lebih mengedepankan argumen daripada sentimen; tetapi ternyata semua itu hanya abang-abang lambe saja. Mengapa saya mengatakan seperti itu? Kembali lagi, saya sudah melihat dan merasakannya sendiri: tentang omong kosong belaka tersebut, tentang permainan politik di tataran dunia kampus, khususnya di ormawa dan UKM, baik di pusat maupun fakultas. 

Umumnya, permainan itu akan terjadi saat pemilihan ketua baru akan dilaksanakan. Permainan-permainan politik itu dimainkan dengan sangat bersih oleh pihak yang terlibat: internal maupun eksternal. Dalam permainan tersebut, ego dan sentimen yang lebih dikedepankan, bukan adu argumen dan konsep yang logis dan kuat. Saya yakin, sebenarnya hal semacam ini malah akan berdampak negatif pada organisasi tempat mereka bermain, entah itu akan dibekukan, atau sepi peminat bahkan mati suri. Kalaupun tidak mati suri dan tak sepi peminat, mungkin roda oragnisasi akan macet dan timbul banyak masalah saat menjalankan progam-progam kerja. Ah, mungkin ada benarnya adagium “tak ada politik yang bersih dan murni” seperti kemurnian air suci. 

Mungkin saya sudahi saja tulisan ini. Anda bebas mengamini ataupun tidak. Anda juga bisa menganalisis sendiri di lapangan, bagaimana sebuah permainan yang bernama politik kampus tersebut dimainkan. Semoga setalah terbitnya tulisan ini, saya tetap baik-baik saja dalam dunia perkuliahan saya. Namun, saya juga siap jika ternyata kehidupan perkuliahan saya akan tidak baik-baik saja. Terima kasih saya ucapkan kembali kepada pihak yang mau menayangkan tulisan ini. Akhir kata, “negara dan lingkungan yang sempurna adalah sesuatu yang sangat utopis dan imajinatif” dan “makan pun bagian dari politik ”. 

Sampai jumpa di meja perkopian ataupun dimana saja. Salam sehat saya ucapkan bagi Anda yang telah membaca.

 

See Also

Penulis: Akmal Rizka Wardhana

Penyunting: Rizqi Hasan

Ilustrasi: depositphotos

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top