Now Reading
Dua Semester Membaca Sekilas Universitas Jember

Dua Semester Membaca Sekilas Universitas Jember

Oleh: Haikal Faqih

Green Campus

Hampir saja saya melahirkan satu puisi kalau saja pandai memeram sajak dengan baik. Keinginan klise dan picisan tersebut hadir sehabis saya bersepeda malam-malam mengitari rektorat, ke depan pascasarjana, FMIPA, LP2M, dan kembali lagi ke Soetardjo. Ada sesuatu mengganjal hati saat lewat di depan gedung Ilmu Komputer, malam hampir larut begini ternyata digunakan untuk membakar setumpuk dedaunan pepohonan oleh petugas entah petugas apa. Api melahap daun-daun kering, mengusir temaram, asapnya membubung. Terus saya berpikir, sebagai green campus apa yang petugas lakukan itu kurang tepat. Hal ini mencuatkan kembali pertanyaan saya sekitar dua bulan lalu, profil universitas ini di kanal Youtube-nya mendaku diri sebagai green campus, sejauh mana ikhtiar berkelanjutan untuk  mewujudkannya?

Sependek penelusuran, saya masih belum menemukan konsep, dan program green campus dari Unej sendiri. Bandingkan dengan ITB, IPB, UI dan lainnya yang memiliki konsep dan program keberlanjutan mulai dari strategi, indikator, implementasi, dan lainnya, serta memasang target tahun berapa kampus tersebut bakal siap menjadi green campus. Tidak hanya mendaku, sebagaimana ciri khas kampus sebagai penampung intelektual, mestinya juga disertai action yang konkret, konsisten, dan jelas arahnya.

Green campus tidak hanya sekadar karena banyak dan lebatnya pepohonan yang berada di lingkungan kampus itu sendiri, melainkan warganya juga memiliki wawasan semacam etika lingkungan, krisis lingkungan, dan isu global terkait enviromental. Sepertinya, kampus Tegalboto masih terlalu dini untuk disebut sebagai kampus berwawasan lingkungan. Ini cukup tecermin dari lampu-lampu yang masih hidup pada siang hari, tempat pembuangan sampah yang tidak terlalu serius diurus, seperti di belakang FISIP, tempat sampah sementara yang terpasang di beberapa titik juga terbengkalai dan rusak, membakar dedaun pohon yang harusnya mampu dikelola menjadi pupuk kompos, rendahnya keacuhan mahasiswa—atau seluruh civitas akademika—terhadap produksi sampah dan emisinya; moda transportasi ke kampus berbahan bakar fosil, konsumsi plastik dan stirofoam untuk pesanan makanan yang menjejali tepat sampah. Padahal kita tahu, butuh seratus tahun kemampuan tanah bisa mengurai plastik. Sementara stirofoam, untuk bisa mengurainya, tanah harus menunggu hari minggu apabila hari jumatnya adalah hari kiamat.

Beberapa hal kecil di atas ditambah dengan minimnya—kalau bukan tidak ada—sosialisasi untuk menumbuhkan pengetahuan dan kesadaran akademis tentang wawasan lingkungan; etika, kesehatan, konservasi dan resiliensi lingkungan sekitarnya (air, tanah, udara). Seluruh kebijakan dan aktivitas kampus hendaknya bisa berorientasi kepada lingkungan dalam memainkan perannya sebagai agen perubahan untuk bisa merefleksi dan mengubah kebiasaan masyarakat yang belum berwawasan lingkungan, seperti kebiasaan kecil mengurangi konsumsi plastik, stirofoam, hemat listrik dan air, tidak membakar sampah, membudayakan (lagi) jalan kaki bila tujuan dekat, dan pemakaian sepeda dalam mengurangi emisi (Faperta sempat menjadi pelopor gerakan green campus dengan menyediakan 30 unit sepeda pada tahun 2017), dan sebagainya. Lingkungan sekitar menjadi rusak terutama karena cara pandang kita yang antroposentris, dan etika lingkungan membawa kita kepada cara pandang biosentris, yaitu lingkungan dan alam di luar manusia memiliki status sebagai subjek, karena itu juga memiliki hak yang sama.

Sudah barang tentu hal tersebut sulit terujud, untuk tidak mengatakan tidak bisa, bila hanya mengandalkan kelompok kagiatan mahasiswa semacam UKM Pecinta Alam dalam menumbuhkan kesadaran komunal akan pengetahuan lingkungan. Akan tetapi bukan tidak sia-sia mengandalkannya. Baiknya juga Pusat Studi Gender Universitas Jember diperluas perannya dari hanya sekadar “mewujudkan Unej sebagai kampus modern yang aman dan ramah gender” ke perannya terhadap lingkungan dengan ekofeminisme yang sepertinya digandrungi “masyarakat modern” (dan tentunya juga kampus modern) yang aktif memperjuangkan kesetaraan hak. Sebab, penyokong untuk semua perjuangan kaum marginal (dalam hal ini adalah lingkungan) adalah feminisme. Dengan kata lain, seorang feminis haruslah memunyai pengalaman keterlibatan, dan kesadaran ketidakadilan terhadap lingkungan untuk kemudian memperjuangkannya. Seperti bagaimana mahasiswa menyadari etika lingkungan berupa pohon-pohon di Unej punya hak untuk menggugurkan dedaunnya dan tidak sembarang ditebang, burung-burung di puncak pohon berhak atas udara sehat, terhindar dari panas akibat emisi, kucing-kucing di kampus berhak atas minum air selokan yang jernih dan tidak bau, ulat memiliki hak ketenangan hibernasi dalam kepompong dari deru kendaraan yang seliweran, cacing berhak atas tanah yang tidak terkontaminasi dengan sampah, dan lainnya.

Kampus kebangsaan, kampus Pancasila

Konsep kampus Pancasila Unej, sependek pengamatan saya, dengan latah mencuat sejak rapungnya Taman Edukasi Kebangsaan. Menurut kanal beritajatim, Unej mendeklarasikan diri sebagai Kampus Pancasila pada hari lahir Pancasila, 1 juni 2022. Keluarga besar Unej berkomitmen mengisi, merawat dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang berdasar pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Unej juga berkomitmen menyelenggarakan kehidupan kampus yang menjunjung prinsip kebhinnekaan, toleransi, moderasi beragama, serta penolakan atas radikalisme dan terorisme.

Pengalaman yang sungguh tidak akan saya lupakan saat di kelas Pancasila pada semester dua kemarin. Pada awal-awal perkuliahan, seorang dosen bertanya dalam forum, bagaimana bentuk implementasi sila Ketuhanan yang Maha Esa?

Semua teman-teman saya menjawab; bahwa masyarakat Indonesia wajib beragama, untuk menjadi warga negara Indonesia yang sah, hendaknya memeluk satu agama, dan kalimat sejenis. Lalu saya mencoba menjawab dengan; kalau sila pertama mengakomodasi orang yang tidak beragama, agama dalam kehidupan demokrasi adalah hak, statusnya boleh dikenakan atau tidak, bukan merupakan kewajiban.

Beberapa teman menyerang saya dengan meneguhkan kembali pendapatnya tanpa sangkalan terhadap pendapat yang saya ajukan. Terakhir, dosen Pancasila saya menyalahkan saya dan berkata kalau kita tidak akan menjadi warga negara Indonesia yang utuh dan sempurna kecuali harus memiliki agama. Saya merasa kecewa bukan karena dosen yang menyalahkan saya, tetapi karena ketidakbebasan mahasiswa untuk bercapak-cakap dan menyusun serta memproduksi argumen alternatif, beliau memaksakan argumen sendiri yang harus diterima oleh setiap mahasiswa. Sederhananya, argumen di luar itu menjadi salah. Padahal saya ingin menanggapi beragama seperti apa yang beliau maksud. Apakah yang tidak pernah salat dan tidak pernah ke gereja selama hidup bisa dikatakan beragama dan menjadi warga negara utuh? seperti apa “beragama” yang beliau maksud masihlah kabur, hanya mementingkan identitas yang bahkan tidak jelas. Selain itu, saya mengamati selama masa perkuliahan, dosen saya selalu menutup kelas dengan hamdalah. Di sisi lain, satu anggota kelompok saya beragama kristen. Saya tidak menemukan ke-Pancasila-an dan kebhinnekaan terawat dengan baik bahkan di dalam kelas Pancasila dan di dalam Kampus Pancasila.

Saya masih mempersoalkan, atas dasar apa kampus ini berani mengklaim diri sebagai Kampus Pancasila. UGM memiliki Pusat Studi Pancasila yang kuat juga Jurnal Pancasila, karenanya mendaku memiliki jati diri sebagai Universitas Pancasila. Universitas Negeri Malang memunyai UPT Pusat Pengkajian Pancasila dan belum pernah saya dengar mendeklarasikan sebagai kampus Pancasila atau sejenisnya. Nah, Unej hanya dengan bermodal 42 mural, satu taman kebangsaan pertama di Indonesia, penghargaan kepada guru, lomba twibbon(!) dan satu kuliah umum sudah mendeklarasikan diri sebagai Kampus Pancasila. Saya tidak mengetahui bagaimana taman kebangsaan ini menjadi proyek jangka panjang yang konsisten dan tidak musiman. UGM dan UNM semoga tidak tertawa mendengar ini.

Keniscayaan lembaga kajian Pancasila agaknya sulit terwujud karena tiadanya program studi Filsafat di Unej. Di Fakultas Hukum sendiri memiliki Kajian Pancasila dan Konstitusi yang fokusnya pada implementasi pancasila dalam ranah hukum, tentu hal tersebut belum cukup sebab kita membutuhkan kajian pancasila secara historis, sosiologis, politis. Ketiganya hanya dimungkinkan oleh tindakan kritisisme dan elaborasi filosofis. Kenapa di UNM, misalnya, berani mendirikan UPT Pusat Pengkajian Pancasila mungkin karena topangan dari program studinya cukup kuat; prodi hukum dan kewarganegaraan dan prodi pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dari jenjang S1 hingga S2.

Lebih jauh setelah saya menelusuri apa yang Unej maksud tentang Kampus Kebangsaan, Kampus Pancasila dalam laman resminya tertulis;

Sebagai perguruan tinggi yang berada di wilayah Tapal Kuda di Jawa Timur, kehidupan di kampus Universitas Jember seiring dengan budaya di kota Jember, Bondowoso, Lumajang, dan Pasuruan. Wilayah yang dikenal dengan budaya akulturasi antara budaya jawa, dan Madura, Pandalungan. Budaya Pandalungan menyiratkan perpaduan dua budaya yang kemudian melahirkan budaya baru yang khas tanpa kehilangan akar budaya asalnya. Hal ini ditandai dengan masyarakatnya yang terbuka dengan hal baru, toleran, serta relijius.

Semangat Pandalungan ini juga dapat dirasakan di Kampus Universitas Jember, semangat akulturasi berbagai budaya yang dibawa oleh masing-masing mahasiswa dari berbagai daerah di pelosok Nusantara. Kesemuanya bersatu padu di kampus kebangsaan, Kampus Pancasila.

Saya tidak melihat elaborasi yang menjadi ciri khas lembaga akademis di sana. Tentu tidak memuaskan dengan penjelasan apa itu kampus kebangsaan, kampus Pancasila. Barang tentu kemajemukan mahasiswa (yang hanya dibuktikan dengan tiga budaya itu: Jawa, Madura, Pandalungan) dari pelosok Nusantara, dan akulturasi yang entah bagaimana (agunan yang bisa dibatalkan hanya dengan tulisan mahasiswa yang merasa kehilangan jati diri kebudayaannya akibat membaca karya-karya penulis hebat eropa-amerika-rusia) tidak bisa dijadikan indikator untuk mendeklarasikan Kampus Kebangsaan, Kampus Pancasila. Kampus-kampus seperti UI, UGM, ITB, Unair tentu jangkauan mahasiswanya lebih luas dan lebih pelosok di Nusantara; Papua, Batak, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB, dan pelosok lain dan mereka tidak gegabah mendeklarasikan diri sebagai kampus kebangsaan, Pancasila. Daripada bikin lomba twibbon, mending dana digunakan untuk workshop penguatan konsep dan nilai-nilai Pancasila bagi dosen-dosen Pancasila sehingga nantinya bisa diteruskan kepada mahasiswa.

See Also

Matinya BEM

Terlepas dari problem historisnya, keberadaan BEM layaknya makanan bergizi yang baik untuk keberlangsungan kehidupan kampus. Kehidupan kampus akan lebih dinamis ketika dua aktivitas sentral berjalan: aktivitas intelektual dan aktivitas organisasi.

BEM di sini juga menjadi cerminan demokrasi atas aktivitasnya sebagai kontrol kekuasaan seperti salah satu fungsi pers. Bagaimana jadinya kritisisme yang mencoba dibangun di dalam kelas hanya terhenti pada langkah keluar pintu seusai jam kuliah. Harusnya pikiran-pikiran dan kritisisme bisa diteruskan ke kehidupan organisasi yang membutuhkan basis itu. kita lihat juga bagaimana kehidupan pers kampus kita yang juga mengadvokasi kontrol atas pemerintah menjadi tidak terasa fungsinya karena tak tahu rimbanya, atau diambang ajal.

Sejak menjadi mahasiswa baru setahun lalu, saya sudah mendapati BEM yang  nonaktif. Oleh karena itu, pada waktunya mahasiswa akan repot-repot memunculkan organisasi semacam unej memanggil, Aliansi Mahasiswa Peduli UNEJ (AMPUN) untuk memperjuangkan biaya gedung maba supaya bisa kredit, yang sebetulnya menjadi tugas BEM. Tidak mungkin Universitas Jember terus-terusan menampung aspirasi mahasiswanya dengan cara menunggu gerakan dan aksi semacam AMPUN, atau petisi-petisi, seolah bila tidak muncul satu gerakan dan aksi, kampus ini merasa baik-baik saja. Menyerap aspirasi mahasiswa dan memperjuangkannya hendaknya menjadi tugas dari BEM.

Seburuk apapun trauma dan sejarah yang menimpa BEM, organisasi seperti ini tetap dibutuhkan kehadirannya, sebab benefit yang diberikan cukup besar terhadap proses belajar mahasiswa. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh; mã lã yudroku kulluhû lã yutroku kulluhû, hanya karena hal tak sepenuhnya baik tidak bisa menjadi alasan untuk meninggalkan hal itu sepenuhnya.

Pada akhirnya, kampus berupaya mewujudkan tri darma perguruan tinggi dengan segala fasilitas intelektualnya yang diucapkan secara kritis, bebas, dan jujur dari kedalaman pikiran dan hati. Tulisan ini hanya sinopsis, tak ditulis utuh dan rapi-rapi amat. Saya ingin menggambarkan diri saya sebagai mahasiswa Unej. Tabik.

10 muharrom 1444 H.

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top