Masa Lalu
Kali ini berbicara tentang cinta. Tulisan ini saya tujukan kepada saya sendiri, Kangmas juga Nimas yang berkenan membaca. Mohon maaf sedikit rancu, hehe…
Satu kata yang mungkin akan tergambar di otak ketika mendengar kata “cinta” adalah rupa orang yang tersayang. Saya hendak membahas sedikit yang saya rasakan tentang jatuh cinta pada manusia, sebab bila membahas jatuh cinta pada Tuhan dan utusannya, saya yakin jenengan-jenengan semua lebih fasih daripada saya. Oh iya, yang saya tulis ini juga merupakan murni yang saya rasakan dan yang mengganjal di benak saya, jadi apabila ada dari jenengan-jenengan yang tidak terima dengan tulisan yang saya buat, jenengan bisa berdiskusi dengan saya via WhatsApp, contact saya bisa jenengan dapatkan melalui admin Matapena. Haha…
Sedikit mengenai jatuh cinta, jatuh cinta mungkin bisa dikatakan sebagai fase terindah dalam kehidupan manusia, baik jatuh cinta kepada Tuhan, kepada utusan-Nya, hingga kepada sesama manusia. Bahkan dalam suku Jawa, fase jatuh cinta memiliki satu babak tersendiri dalam tembang-tembangnya, yakni Asmarandana. Seistimewa itu hingga tak jarang manusia masa kini berani mempertaruhkan segalanya demi cinta. Problematika jatuh cinta di era modern kini semakin banyak, padahal bila diperhitungkan ujian dan cobaannya mirip dengan kisah percintaan zaman dulu. Mulai dari kisah tragis Kapten Pierre Tendean yang meninggal dunia sebulan menjelang pernikahannya dengan Rukmini, kisah dramatis Ibu Inggit yang lebih memilih untuk meninggalkan Kang Uci lalu memilih Soekarno padahal pada akhirnya ia ditinggalkan pula oleh Soekarno dan menikahi Fatmawati. Perbedaan kasusnya tidak jauh berbeda dengan kasus jatuh cinta di era modern kini, sedikit perbedaannya mungkin jika di saat ini anak muda yang katanya generasi penerus bangsa akan memilih untuk menikmati masa frustrasinya dengan menyetel lagu-lagu indie, menyeduh kopi dan menyesap putung rokoknya lalu menuliskan sajak-sajak yang amat menyedihkan padahal nyatanya ia hanya ditinggal pergi oleh kekasihnya ke pasar – bersama selingkuhan.
Sudah, bukan itu yang hendak saya bahas. Yang hendak saya bahas dari jatuh cinta ini adalah satu di antara banyaknya problematika yang berhasil menjajah hubungan asmara dua cucu Adam, dijadikan pelarian oleh pasangan. Sampai saat ini saya masih bingung, ide dan teori dari siapa yang berhasil membuat manusia-manusia itu sehingga menjadikan orang yang mencintainya sebagai pelarian dari masa lalunya? Buruknya, mereka akan menjadikan lawannya terlalu bodoh hingga terlalu cinta kemudian meninggalkannya. Kalau dijadikan pelarian berlanjut ke pelaminan alhamdulillah, lalu bila sudah dijadikan pelarian kemudian ditinggal balikan dengan mantan, siapa yang salah?
Ingin sekali menyampaikan pada mereka yang menjadikan orang yang tidak tahu apa-apa atas rasa sakitnya sebagai pelarian, mengapa tidak kau selesaikan terlebih dahulu dirimu dengan urusan hatimu? Tega sekali menjadikan dia yang tidak tahu apa-apa sebagai obat untuk lukamu, lalunketika kau sudah sembuh kau tinggalkan dia berlari, padahal dia yang menyembuhkanmu? Mengutip dari novel Tulisan Sastra, karya Tenderlova, entah di halaman berapa dia menuliskan, “sebab hati yang kamu tinggalkan akan menjadi tempat bagi orang lain, seumpama hati itu rumah, apa kamu tega memberikan rumah tidak layak huni pada orang lain?” begitu kurang lebihnya.
Ya, selayaknya bila jenengan ingin mendapatkan rumah yang layak huni, pastikan rumah yang jenengan miliki ini bebas dari pecahan kaca dan remahan kayu yang dapat melukai penghuni baru. Bila jenengan ingin sembuh, maka pastikan orang yang bersama jenengan saat ini tidak tersakiti hatinya karena masa lalu jenengan. Saya bukan cucunya Eyang Habibie dengan cinta sejatinya kepada Ibu Ainun, bukan pula cucu Nabi Muhammad yang dapat dipastikan setia dengan satu hati. Saya hanya manusia yang mencoba menjadi mahasiswa, lalu mengungkapkan unek-uneknya melalui tulisan ini yang saya tahu pasti editor akan repot sekali dengan tulisan acak ini.
penulis: Riska Ayu Sofin