Sepotong Kue Kelapa
“Selamat datang Ladju jurusan Situbondo, Ketapang Banyuwangi.” Terdengar siaran dari kantor terminal yang terletak di sebelah pasar buah. Seorang wanita turun setelah bus itu terparkir dengan sempurna di terminal dengan tas besar yang digendongnya, wajah yang lesu menandakan seberapa lama dia berada di dalam bus.
“Aku harus membeli buah dulu ini sebelum pulang, agar tidak kosongan tanganku.” gumam wanita itu. Ia berjalan memasuki pasar buah yang berada di samping terminal, melihat buah-buahan segar membuat wajah yang mulanya terlihat lesu itu menjadi segar kembali.
“Beli semangka aja kali, ya, sama kelengkeng.” Dia terlihat menimbang, apakah harus membeli semangka itu atau tidak, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk membelinya. “Ibu, beli semangkanya yang ini satu yaa Buu, sama kelengkengnya seperempat aja.” Ucap wanita itu seraya menunjukkan semangka yang terlihat sangat mulus dan kelengkeng yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Semangkanya mau yang mana, Neng?” Tanya Ibu pedagang yang baru saja selesai melayani pembeli sebelumnya. Wajahnya sedikit lesu mungkin karena telah seharian menjual buah yang tak pernah surut dari pembeli itu. Namun, senyuman ramah masih bisa bertengger di wajahnya.
“Semangka yang ini, Bu,” tunjuk wanita itu pada semangka yang tadi dipilihnya. Sang pedagang mulai menimbang semangka. Tangannya terlihat sangat lincah.
“Semangkanya 2 setengah kilo, yaa, Neng.” Ucapnya setelah memastikan bahwa timbangannya benar.
“Iya Bu, sama kelengkengnya seperempat, ya, Bu.”
“Siapp nengg, semua jadi 45 ribu, yaa.” Ucapnya seraya memberikan kantong belanjaan yang berisi buah timbangannya.
“Ini Ibu uangnya.” Wanita tadi menyerahkan uang pas dan melenggang pergi setelah mengucapkan terima kasih dan dijawab sama-sama oleh Ibu pedagang. Wanita itu berjalan mendekati tukang becak yang tak jauh dari ruko penjual buah tadi, tetapi saat akan memanggil tukang becak, ada satu benda yang sangat ia rindukan, dan mengingatkannya pada banyak hal.
“Ayo Neng kuenya ini dibeli, baru dateng ini Neng, masih anget!” Ucap Ibu penjual kue. Wanita itu berhenti sejenak menatap kue kelapa yang berada di hadapannya.
“Harga satuannya berapa ini, Bu?” Tanyanya seraya memegang salah satu kue, ia melihatnya lamat-lamat.
“Murah Neng! Hanya dua ribu aja.” Jawab ibu itu bersemangat, ibu itu baru aja selesai menata kuenya saat wanita itu datang, dia sangat bersemangat karena wanita itulah yang akan menjadi pembeli pertamanya. Menurut mitos yang dipercaya masyarakat sekitar, pembeli pertama memutuskan bagaimana dagangannya akan laku di hari itu.
“Ibu mau beli kue kelapa!” Terdengar suara rengekan dari anak kecil di sampingnya, membuat dia secara refleks menoleh untuk mengetahui siapa yang merengek.
“Aduh, jangan dulu, ya, Nak, besok kita ke pasar lagi beli kue kelapanya, yaa.” Seorang ibu menyahutinya, ‘itu pasti ibunya’ pikir wanita itu.
“Hwaaaa, tidak mauu! Pasti Ibu bohong, besok kita tidak akan ke pasar lagi dan walaupun ke pasar tetep aja tidak akan dibolehin beli kue kelapa.”
“Sekarang uangnya tidak cukup buat beli kuenya, nanti kalau beli itu kamu tidak bisa pulang lohh. Ayo kita pulang, nanti bilang ke Bapakmu kalau kamu pengen kue kelapa.” Ibunya masih mencoba menjelaskan kepada anaknya.
“Tidak mau! Tidak mau! Maunya beli sekarang!” Anak itu masih mencoba membujuk ibunya.
“Besok aja, yaa, kita balik lagi ke sini buat beli kue kelapa.”
“Tidak mauu! Maunya sekarang, hwaaaaa.” Anak itu mulai menangis keras, ibunya berusaha menenangkannya dan membawanya pulang. Namun, si anak masih saja bertahan di tempatnya, malah tangisannya semakin menjadi-jadi. Tangannya berpegangan pada sebuah pintu toko yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Mungkin karena kesabaranya sudah habis ibu itu memukul kakinya sambil berkata.
“Sudah Ibu katakan, besok kita balik lagi ke sini, masih aja ngeyel. Ayoo pulang sekarang! Tidak usah nangis-nangis lagi!”
“Aku tidak mauu pulang! Maunya beli kue kelapa sekarang! Pokoknya mau sekarang!” Sang anak membalas meneriaki ibunya.
Melihat semua itu Kiky —wanita yang baru saja bertanya tentang harga kue itu— merasa iba, “Ibu saya beli kue kelapanya sepuluh ribu, yaa.” Ucapnya pada sang penjual kue. “Oh siapp Neng, mau pilih sendiri apa mau Ibu ambilkan?” Ibu penjual kue menjawab dengan semangat.
“Jenengan saja wes Bu yang pilihkan, masih baru semua kan ini?”
“Masih anget Neng, baru dateng sek ini.” Jawab ibu penjual kue.
“Siap, Bu, ini uangnya, ya,” ucap Kiky sembari menjulurkan uang berwarna ungu pada sang penjual kue.
Anak dan ibu yang barusan membuat suatu keributan masih saja di sana, anaknya masih terus merengek untuk dibelikan kue kelapa, namun masih saja tetap tidak diperbolehkan oleh ibunya. Kiky meghampiri keduanya.
“Permisi Ibu, boleh saya kasih kue kelapa saya pada anak Ibu?” Tanyanya setelah sampai di hadapan ibu dari anak itu.
“Eh? Tidak usah Mbak, dia memang seperti ini, selalu aja merengek minta apapun yang dia lihat kalau ke pasar.” Jawab ibu itu dengan masih mencoba menarik anaknya.
“Ehh Mbak, mauu dong kuenya, Ibu aku pelit banget tidak mau membelikan aku kue ini padahal hanya dua ribu saja.” Anak itu menyela dan menengadahkan tangannya padaku.
“Adit! Tidak boleh meminta-minta seperti itu, jelek! Besok kita balik lagi ke pasar beli sendiri jangan minta-minta!” Ibu itu membentaknya.
“Tidak apa-apa Ibu, ini saya tadi memang membeli lebih untuk diberikan ke anak Ibu, kalau saya bawa pulang semuanya malah tidak habis nanti.” Kiky mencoba menjelaskan pada ibu dari anak itu, supaya diperbolehkan memberikan kuenya pada anak itu. Ibu itu terdiam, Kiky mengambil kue yang dia pegang dan memberikannya pada anak itu 2 bungkus.
“Ini ya Adik kuenya, kamu tidak boleh menangis lagi, yaa, sudah sana pulang ikut Ibumu!” Kiky menyerahkan kuenya dan menasihati anak itu dengan lembut.
“Itu berapa Mbak harganya? Biar saya ganti.” Kata ibu itu dengan wajah yang masam. Kiky tau sebenarnya Ibu itu tidak senang dengan apa yang diperbuat Kiky. Namun, dia hanya kasihan melihat anak itu menangis dan diperhatikan oleh orang-orang pasar.
“Oh, tidak perlu Bu, saya ikhlas memberikan kue itu untuk anak Ibu,” Kiky mencoba menolak Ibu itu membayarnya, karena dia tadi sempat mendengar bahwa Ibu itu kekurangan ongkos jika membeli kue yang diinginkan sang anak.
“Itu empat ribu ya segitu? Ya sudah ini Mbak saya bayar saja, tidak enak nanti malah jadi hutang di akhirat.” Ibu itu menjulurkan uang lima ribuan kepada Kiky.
“Tidak usah Ibu saya ikhlas, lebih baik uang itu Ibu gunakan sebagai ongkos pulang Ibu dan Adik ini, siapa tadi nama Adik ini?” Tanya Kiky.
“Namaku Adit Mbak. Terima kasih, ya, Mbak sudah memberikan Adit kue ini, Mbak baik banget ngasih ini ke Adit, Tidak seperti Ibu, pelit banget! padahal kan kue ini hanya dua ribu saja.” Adit bersungut-sungut menatap ibunya yang tak berhenti mencolekinya, memberi kode untuk diam. Kiky hanya tersenyum melihatnya.
“Ya sudah saya pamit ya Ibu, Adit tidak boleh nangis lagi, yaa! Nanti kalau diajak Ibu ke pasar lagi harus nurut sama apa yang dikatakan Ibu. Kalau memang menginginkan sesuatu mending Adit nabung sendiri, terus nanti buat beli-beli apa yang Adit mau deh,” Kiky menunduk dan berbicara panjang lebar kepada anak lelaki yang memiliki tubuh gemuk dihadapannya. “Pamit dulu ya Ibu.” Kiky berpamitan pada ibu dan anak tadi.
“Tunggu dulu! Jangan pulang dulu! Ini uangnya kue tadi, ya, tolong diterima.” Ibu itu masih mencoba menjulurkan uang kepada Kiky.
“Tidak usah Ibu, tidak apa-apa kok, saya pamit, ya.” Kiky mulai melenggang, meninggalkan ibu dan anak tadi yang masih menatapnya.
“Terima kasih, ya, Mbak, kamu udah cantik baik lagi, hati-hati pulangnya. Ayo Dit, bilang terima kasih ke Mbaknya!” Kata ibu itu dengan senyum yang merekah dari bibirnya.
“Terima kasih Mbak cantik.” Ucap Adit dengan senyuman yang sangat lebar. Kiky menoleh sebentar dan melambaikan tangannya kepada anak dan ibu itu dengan senyuman di wajahnya.
Kiky berjalan menuju ke tukang becak yang tak jauh dari tempatnya berdiri tadi, “Pak, becak!” Serunya. Seorang bapak-bapak datang menghampirinya.
“Becak Neng?” Tanya bapak yang menghampirinya.
“Iya Pak.”
“Ayo naik, Neng.” Kiky menaiki becak tersebut.
“Ke desa Rawan, ya, Pak, masuk gang KUA.” Kiky menginstruksi ke mana dia akan diantar.
“Siap Neng.” Bapak becak itu menjawab dengan semangat seraya mulai mengayuh becaknya.
Selama di perjalanan Kiky teringat dengan kejadian tadi, sebuah kejadian yang sebenarnya juga pernah dialaminya. Ia menatap kue kelapa yang tinggal 3 itu lamat-lamat, sekelebat ingatan menghampirinya, ia dan neneknya pernah memakan kue itu bersama ketika pergi ke pasar. Kiky dan neneknya akan selalu duduk di kursi yang ada di terminal sembari menikmati kue kelapa dan es degan yang dibeli sebelumnya. Sebuah kejadian yang tidak akan pernah dialami lagi oleh Kiky. Karena saat ini nenek yang selalu menemaninya memakan kue kelapa sembari bercerita banyak hal telah pergi.
Suatu kejadian yang selalu Kiky rindukan setiap kali menatap terminal dan kue kelapa. Mungkin kue kelapa ini terlihat biasa saja untuk orang lain namun, berbeda dengan Kiky yang memiliki kenangan yang sangat berharga bersama dengan orang yang paling dia sayang. “Ky nanti kamu kalau sudah besar harus jadi orang kaya ya, supaya nanti kalau mau beli apa-apa tidak perlu susah mikirin dapat uang dari mana.” Kata neneknya kala itu.
“Kalau jadi orang kaya itu kayaknya udah jadi keinginan tiap orang deh Nek, aku memang pengen banget jadi orang kaya, biar nanti kita bisa bikin kue kelapa sendiri Tidak perlu jalan ke pasar lagi.” Kiky menjawab dengan polosnya, waktu itu umur Kiky masih 10 tahun.
“Bukan cuma jadi orang kaya uang saja, tetapi kamu juga harus kaya ilmu, orang yang kaya ilmu itu lebih dihormati daripada orang yang hanya kaya uang saja.”
Kiky mencoba mencerna apa yang neneknya katakan barusan. “Memang iya Nek, kalau orang kaya ilmu itu lebih dihormati? Berarti nanti aku harus buat perpustakaan sendiri, dong, buat koleksi bukuku.”
“Apa hubungannya orang kaya ilmu sama bikin perpustakaan sendiri?” Tanya nenek kebingungan.
“Kan kalau orang banyak bukunya berarti banyak ilmunya itu Nek, kayak di TV tuhh, orang yang pinter kan banyak bukunya.”
“Tidak seperti itu juga Ky, percuma banyak buku kalau tidak pernah dibaca, pokoknya nanti kamu harus rajin sekolah yaa, biar jadi orang pintar, kalau bisa sekolahnya tidak hanya di sini saja, biar kamu banyak pengalaman.”
Percakapan singkat itu adalah sebuah percakapan terakhir yang di lakukan mereka di terminal, setelah hari itu neneknya jatuh sakit, dia sudah tidak kuat lagi berjalan, bahkan untuk ke kamar mandi saja dia harus di tuntun. Kiky memang lebih dekat dengan neneknya daripada orang tuanya. Orang tuanya pada masa itu berpisah sehingga ibunya harus mencari uang sendiri, dan Kiky selalu ditinggal berdua dengan neneknya di rumah.
Malam itu ketika dia sedang bersiap tidur bersama neneknya, dia merasakan hal tidak biasanya pada neneknya. “Kamu tau Ky, dulu Ibumu tuh pas hamil kamu nyiksa banget. Tiap malam biasanya ada aja yang terjadi. Entah Ibumu tiba-tiba menghilang dari rumah atau lainnya.” Nenek memulai ceritanya dengan penuh antusias.
“Loh kok bisa hilang, Nek? Diculik orang tah?”
“Ya tidak! Siapa yang mau nyulik Ibumu itu, dia pas hamil kamu itu gemuk banget, jadi tidak bakal kuat orang yang mau menculik Ibumu,” mereka berdua tertawa. “Dia tuh hilangnya ya ke sawah, dia tiba-tiba ngerawat padi yang di tanamnya, atau kalau tidak dia pergi mancing di sumber yang di sana tuh, padahal orang-orang udah nyariin dia kemana-mana, untung belum sampai lapor polisi waktu itu, Bapakmu tuh selalu bisa menemukan Ibumu kalau sudah tiba-tiba hilang dari rumah.” Malam itu nenek menceritakan semuanya, bagaimana nenek bisa bertemu dengan kakek, bagaimana dulu prosesi ibu dan bapak Kiky menikah tapi ibu Kiky malah sibuk masak di dapur dan tidak peduli pada ijab qobul yang akan mereka lakukan.
Malam semakin larut, percakapan malam itu ditutup dengan nasihat singkat yang diberikan oleh Nenek kepada Kiky. “Kiky nanti kamu kalau sudah besar harus jadi orang yang selalu ingat Allah, bagaimanapun keadaanmu jangan sampe kamu meninggalkan salat. Di mana pun kamu berada harus selalu ingat bahwa Allah tidak pernah tidur, Dia selalu melihat hamba-hambanya, malaikat selalu aktif mencatat kebaikan dan keburukanmu, jadi jangan sampai berpikir kalau kamu berbuat kejahatan dan sedang tidak ada orang, kamu bisa aman-aman saja ya.” Ucap nenek panjang lebar.
“Iya, Nek, aku tidak akan berbuat hal yang jahat kok,” jawab Kiky.
“Nanti kalau Nenek sudah tidak ada dan kamu rindu sama Nenek, beli saja kue kelapa nanti bawain juga tuh Nenek kue kelapamu itu.” Ucapan nenek membuat Kiky langsung menoleh ke arah nenek.
“Nenek apa, sih, kok bicara gitu. Lagian, ya, walaupun aku bawakan kue kelapa ke kuburan Nenek, memangnya Nenek bisa makan kalau udah mati?” Tanya Kiky dengan nada ketus pertanda ia tak suka pada pembicaraan kali ini.
“Ya bukan kamu bawa ke kuburan juga kuenya, tetapi kamu sedekahin kuenya ke orang lain dengan niat sedekah untuk Nenek gitu, nanti kamu ke kuburan Nenek biar kita makan bareng di kuburan.” Jelas nenek, Kiky tertawa mendengar kalimat terakhir neneknya.
“Makan bareng kok di kuburan, sih, lagian kan nanti kalau Nenek mati aku tidak bisa lihat Nenek, percuma, dong.”
“Ya tidak apa, yang penting Nenek bisa lihat kamu.” Nenek membelai rambut Kiky sambil tersenyum.
“Ahh, sudahlah Nek, tidur wes tidur!” Percakapan malam itu menjadi percakapan terakhir antara dia dan neneknya.
Pagi harinya nenek meninggal waktu dia sholat subuh di sebelah Kiky, seluruh keluarga menangis histeris di sampingnya tangisan itu membangunkan Kiky yang tidur di sebelahnya, sadar bahwa nenek yang sangat disayanginya telah meninggal Kiky menangis sangat kencang. Dia menyesal, harusnya waktu nenek membangunkannya salat subuh dia langsung bangun sehingga masih bisa bercakap dengan neneknya walaupun sebentar.
“Neng, ini masuk gang yang sebelah mana? Neng? Neng?” Pertanyaan dari tukang becak yang dinaikinya membuyarkan lamunannya.
“Eh, iya, bagaimana, Pak?” Tanyanya karena tadi dia tidak mendengar bapak becak itu berbicara apa.
“Ini masuk gang yang mana? Yang kanan apa yang kiri?” Tukang becak itu mengulangi pertanyannya dengan suara yang sidikit dinaikkan.
“Emm, Pak, boleh puter balik tidak, ya? Antarkan saya ke TPU di Kampung Baru?” Tanya Kiky dengan nada yang kikuk dia takut kalau bapaknya malah membentaknya, karena dari pasar ke Kampung Baru sangatlah dekat sedangkan dari desa Rawan ke Kampung Baru lumayan jauh, pasti itu akan menguras tenaga bapak becak itu.
“Loh? Tidak jadi ke sini Neng?” tanya tukang becak itu kebingungan.
“Iya, Pak, ke Kampung Baru aja wes,” ucap Kiky.
“Siap, Neng, tetapi ongkosnya jadi dua kali lipat, ya, Neng.” Ucap bapak itu. Kiky hanya mengangguk dan memakluminya karena ini memang sedikit menguras tenaga bapaknya.
Becak yang ditumpanginya menuju tempat pemakamam umum yang ada di Kampung Baru.
“Ini, Pak, ongkosnya, cukup kan?” Kiky memberikan uang lembaran berwarna Biru.
“Cukup banget ini Neng, terima kasih, ya.” Ucap tukang becak itu dengan wajah yang sangat sumringah.
“Iya, Pak, terima kasih kembali.” Kiky mulai memasuki pemakaman itu, sudah lama sekali dia tidak menghampiri kuburan orang yang paling dia sayangi dikarenakan kesibukannya di kota orang. Beberapa menit dia menelusuri pemakaman itu, dia akhirnya menemukan kuburan neneknya.
“Assalamualaikum Nek, Kiky datang Nek, maaf ya Kiky baru bisa datang sekarang. Oh iya, Kiky bawa kue kelapa kesukaan kita berdua, loh. Nenek sudah menerima kue kelapanya belum? Tadi Kiky udah titipin ke anak kecil di pasar, semoga sampai ke Nenek, ya, kuenya.” Kiky lalu mulai membaca surah Yasin yang dikhususkan kepada sang nenek.
Setelah selesai membaca surah Yasin dan berdoa, dia memandangi nisan sang nenek, “Nek aku sekarang sudah kuliah, aku juga kerja biar tidak menjadi bebannya Ibu dan Bapak, oh iya Bapak sekarang sudah kembali, walaupun Ibu masih saja bekerja. Namun, dengan kembalinya Bapak, sedikit mengurangi beban Ibu. Aku senang sekali melihat Ibu dan Bapak sekarang, mereka sudah akur.” Kiky mengusap air mata yang sedari tadi mengalir tanpa dia sadari.
“Kiky rindu banget, Nek, sebenarnya Kiky masih pengen denger cerita-cerita Nenek. Tapi karena Nenek udah pergi lebih dulu tidak ada lagi yang bercerita sebelum Kiky tidur. Doakan Kiky, ya, Nek, semoga Kiky bisa sukses dan menjadi orang yang kaya harta serta kaya ilmu. Kiky janji bakalan sering-sering jengukin Nenek, Kiky pamit dulu, ya, Nek, ini Kiky belum sampai rumah tadi loh, Kiky langsung ke sini karena kangen banget. Semoga Ibu sudah ada di rumah, ya, sekarang. Nenek yang tenang di sana, Kiky bakalan selalu ngasih Nenek kue kelapa biar Nenek selalu ingat Kiky.” Kiky menghapus air matanya dan tersenyum lebar, dia menciumi nisan sang nenek seakan dia sedang mencium pipi neneknya. “Assalamualaikum Nenek.” Ucap Kiky mengakhiri pertemuannya dengan sang nenek hari itu.