Akun-Akun Kampus Cantik Itu Sebenarnya Buat Apa Sih?
Berangkat dari obrolan saya dengan salah satu teman, “gimana pendapatmu dengan adanya akun-akun yang mengatasnamakan kampus terus mengembel-embelinnya dengan diksi cantik, ayu atau semacamnya?,” teman saya menjawab singkat dan sedikit apatis, “Sejauh ini aku tidak punya perhatian khusus dengan itu sih, lagian akun-akun kaya gitu juga ndak jelas progressnya,” saya terdiam sebentar, ada benarnya juga.
Saya lanjut, saya kejar teman saya itu dengan beberapa kali pertanyaan, mulai dari manfaat dari adanya akun-akun tersebut, sampai kaitanya dengan parameter intelektualitas sumber daya perempuan di tataran kampus. Dia menjawab “Gak ada manfaat lain selain sensasi. Gimana dong dengan mahasiswi yang tidak cantik?”.
Sebelum berakhir obrolan, teman saya memberi semacam kalimat bijak namun sarkas. “Cantik itu kan pemaknaannya luas, dan setiap wilayah (lebih ke letak geografis) mempunyai standar kecantikannya masing-masing. Tapi, kalau sekelas kampus – yang katanya pembawa perubahan (wqwq)— tetapi representasi “cantik” hanya diukur pakai nilai kecantikan khas Eropa –yang biasa diilustrasikan dengan body mulus, wajah glossy, body goal dan semacamnya. Saya kok jadi khawatir akan lahir bentuk-bentuk diskriminasi baru.” Saya merenung, saya cerna perlahan. Kami mengakhiri obrolan itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di setiap kepala kami masing-masing.
Hal-hal yang mungkin terkesan remeh –dan mungkin seharusnya tidak perlu dibahas– ini, setidaknya bagi saya pribadi, justru menarik perhatian untuk diobrolkan. Apakah akun-akun semacam ini hadir sebagai bentuk apresiasi kepada para perempuan-perempuan yang rajin merawat dan “mempercantik” dirinya? Ataukah akun ini hadir untuk memasang standard kecantikan para mahasiswi di lingkungan kampus? Menjadikan perempuan agar tidak perlu malu dan lebih percaya diri dengan ketubuhan mereka, namun bukankah diksi “cantik” sendiri punya beragam tafsir? Atau jangan-jangan, akun-akun seperti ini hanya dipakai bisnis konten yang mencoba mengambil keuntungan dengan lagi-lagi menampilkan perempuan sebagai objek pasif? Atau barangkali, akun-akun tersebut bermaksud memberi semacam wadah bagi para lelaki jomblo untuk mencari pasangan, mungkin nanti polanya akan persis dengan acara “Take Me Out”, namun versi ini tidak perlu tombol merah dan lebih privasiable. Sejauh ini, asumsi terakhir yang setidaknya paling mulia. Dibuat ajang cari jodoh.
Fenomena ini hampir terjadi di kebanyakan kampus-kampus Indonesia, baik Negeri maupun swasta. Termasuk kampus saya. Memang benar, akun-akun itu hadir dan terbentuk jauh, bahkan sebelum saya menjadi mahasiswa. Namun bagi saya, justru kerentanan-kerentanan seperti ini, seharusnya, menjadi fokus utama bagi para pegiat kesetaraan gender dan aktivis perempuan. Agar perdebatannya tidak melulu hanya berkutat pada hal-hal dapur, porsi tanggung jawab dan domestifikasi.
Saya akan memberi contoh, yang mungkin sedikit memberi gambaran tentang fenomena akun-akun cantik. Saya kebetulan kuliah Sastra di salah satu kampus negeri Jember, saya sebut inisialnya, Universitas Jember. Di instagram, – ada akun @unejcantik. Di dalamnya ada beratus-ratus foto mahasiswi yang, sementara ini kita sebut saja “cantik”. Akun ini memasang label seniman dalam setting alihan akun profesional, yang cukup membuat saya bertanya-tanya, “apa sebenarnya seniman itu?” menguploud foto perempuan-perempuan di instagram dan getol memberinya hashtag #cantikcantik, apa dapat disebut sebagai seniman? Atau, memasang bio akun instagram dengan kata-kata powerfull “Real dan Eksklusif”, –sementara di dalamnya hanya dipakai sebagai ajang kontes atau pamer laku tubuh para perempuan– apa cukup disebut sebagai seniman?
Saya tidak bermaksud ingin mempermasalahkan atau cari gara-gara dengan status quo akun-akun tersebut. Saya hanya ingin sedikit memberi ruang refleksi bagi kita semua, apakah iklim yang dibangun di dalam akun itu tidak akan memberi dampak?
Saya baru saja berbicara dengan salah satu, sebut saja mbak angkatanku, yang kebetulan baru menyelesaikan skripsinya dengan kajian psikologi kepribadian milik Gustav Jung. Ketika saya tanya perbandingan antara kemanfaatan dan dampak sosial dan psikologis dari adanya akun-akun tersebut, dia menjawab halus namun serius. “Aku tidak bisa menghitung prosentase boi. Tapi aku berani bertaruh, dampak psikologisnya kurang baik. Masing-masing individu itu memiliki persona. Maksudnya, sifat menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang dipengaruhi oleh latar belakang, kebiasaan atau pikiran masa depan. Ketika individu ini memiliki kebiasaan ngeliatin akun ige-ige kek gitu, otomatis, jauh dibagian (ketidaksadarannya), ia akan mengikuti gaya hidup seperti itu. Jadi, individu itu sebenarnya ngerasa kayak ditekan. Dipaksa. Agar bisa terlihat (sama) di lingkungan –media—sosial yang sedang diamatinya. Itu bahaya.”
Saya tau sikap mbak angkatanku ini sedikit terdengar radikal dan kaku untuk ukuran mengomentari fenomena instagram. Tapi, ada benarnya juga. Di akhir obrolan kami, ketika saya bercerita mau menulis fenomena ini dia berpesan pada saya, humor tapi menggigit, “Awas, tulisanmu nanti disangka nyinggung perempuan dan bla bla. Cantik menggunakan standart bersyukur itu kurang afdol, kata perempuan-perempuan yang berskincare. Haha.” Saya tau dia hanya bergurau. Dan biarpun iya, saya tidak akan peduli. Wong awak dewe iki los dol je.
Dan baru-baru ini, ternyata ada salah satu akun baru dengan nama @unejuayu, ini akun baru. Akun ini pakai sistem jemput bola, jadi, dia menghubungi akun-akun instagram mahasiswi unej, yang menurut versinya “cantik” dan mencukupi kapasitas, lalu dia meminta izin untuk memposting fotonya. Tidak seperti akun @unejcantik, yang mungkin, mempunyai proses seleksi ketat dan parameter yang jelas, akun @unejuayu ini lebih longgar dan terkesan grusa-grusu.
Mungkin ada yang tidak terima, kenapa kok saya hanya mengulas @unejcantik, kan ada juga akun yang serupa, memang benar, ada akun @unejganteng yang berisikan cowo-cowo “ganteng” . Tapi saya memang hanya ingin membahas @unejcantik saja, biar akun ganteng-ganteng itu dibahas para perempuan dari sudut pandangnya sendiri, kayaknya akan lebih menarik dan khas.
Terakhir, saya nitip petuah Najwa Shihab, — Entah kenapa, saya merasa nasehat ini begitu penting di tengah ketidakpercayadirian perempuan hari ini. “Tentukan sendiri definisi cantikmu, jangan mau didikte oleh ukuran cantik yang dibuat orang lain.”