Now Reading
Antara Profesional dan Egois

Antara Profesional dan Egois

Assalamualaikum, Sahabat Matapena, semoga dalam keadaan sehat wal afiat. Untuk yang sedang sakit, semoga lekas sembuh. Untuk yang sedang menyusun tugas akhir perkuliahan semoga dimudahkan dan dilancarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Tulisan ini mungkin sedikit berbeda dengan tulisan-tulisan saya sebelumnya yang kalau tidak membahas cinta, pasti terkait kritik politik kampus, ataupun kaderisasi di PMII. Kali ini, saya akan menuliskan keresahan saya terkait dinamika dalam berorganisasi. Namun, mungkin juga akan menyinggung terkait politik pragmatis.

Sebelum jauh membahas dinamika yang ada ketika berorganisasi, sebagai permulaan, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa yang disebut “profesional”, dan apa yang disebut “egois”. Sebab, keduanya akan menjadi pijakan untuk berjalan di sepanjang tulisan ini. Mari kita mulai.

Pertama, mengenai profesional. “Profesional” dan/atau “profesionalitas” sering dikaitkan dengan pekerjaan atau profesi yang digeluti oleh seseorang. Dalam pekerjaan tersebut, seseorang harus mempunyai kemampuan yang mumpuni terkait pekerjaan yang di geluti. Jika kita membahas profesional dalam ranah organisasi, berarti orang-orang dalam suatu organisasi tersebut memiliki kemampuan untuk mengerjakan setiap agenda atau program kerja sesuai kemampuan yang dimilikinya, bertanggung jawab, serta menaruh kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Kedua, soal egois. Berbalik dengan profesional, egois adalah suatu sifat yang cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan kelompok atau orgniasasi. Egois juga menjadi salah satu dasar berpikir dalam sebuah aliran filsafat, yaitu aliran “egoisme”. Orang-orang yang mengikuti aliran filsafat tersebut memiliki pandangan bahwa ia harus bertindak sesuai keinginan serta kepentingannya sendiri . Pada dasarnya, setiap orang memiliki sifat egois, tinggal bagaimana kita mengendalikan dan menggunakan sifat tersebut pada situasi yang tepat.

Mari kita langsung masuk dalam pembahasan dan mencoba mengaitkan antara profesional dan egois dalam konteks berorganisasi. Lebih spesifiknya, dengan dinamika yang mungkin akan terjadi dalam jalannya sebuah organisasi.

Agar suatu organisasi dapat berjalan dengan lancar, dalam mengerjakan suatu program kerja misalnya, orang-orang di dalamnya harus memiliki satu tujuan terlebih dahulu, juga memiliki sikap profesional. Sebagaimana saya singgung di atas, sikap profesional dalam konteks organisasi ialah “bisa” dan “mampu”.

Termasuk juga dalam profesionalitas ialah menekan ego individu dan kelompok, . Mudahnya begini, setiap organisasi pasti memiliki struktur. Dalam struktur tersebut, dibagilah ia menjadi beberapa divisi. Jadi, ada banyak kepala di sana, sedangkan setiap kepala pasti memiliki argumen dan gagasan masing-masing, yang seringkali juga akan mengeluarkan sikap egonya masing-masing untuk mempertahankan argumen ataupun gagasan.

Kalau bicara profesionalitas dalam organiasasi, untuk orang-orang yang masuk dalam struktural tersebut khususnya, seharusnya dapat menerima pendapat, kritikan, serta keputusan yang diambil. Ketika muncul pendapat ataupun kritikan karena perbedaan gagasan, seharusnya dapat diselesaikan pada waktu rapat dan selepas itu sudah tidak ada perbedaan lagi, apalagi permusuhan. Juga, ketika gagasan ataupun pendapatnya tidak disepakati, seseorang harus dapat menerima hal itu dengan legowo.

Termasuk penting juga, saat terdapat permasalahan dalam struktural, semua elemen yang ada harus mengetahui, bukan hanya orang-orang tertentu saja. Sebab, ketika terjadi suatu “kepincangan”, harus yang lain harus membantu untuk “berjalan” (baca: bersama-sama mencari solusi). Namun, jika ego masih dipertahankan kuat oleh masing-masing kepala, maka jangan harap harmoni akan terjadi dalam organisasi tersebut. Malah yang akan muncul hanyalah permasalahan baru dan perpecahan. Lebih mengkhawatirkan lagi, akan terbentuk kelompok di dalam kelompok yang pada akhirnya ingin saling menjatuhkan dan sentimen satu sama lain.

Bukannya egois itu tidak boleh alias buruk, tetapi ketika dalam sebuah kelompok atau organisasi masing-masing kepala masih kukuh menggunakan egonya, maka organisasi tersebut dikhawatirkan “pincang” bahkan lumpuh. Jika hal tersebut terjadi, yang muncul kemudian adalah mencari-cari kesalahan dari pihak lain dan yang lain akan melakukan pembenaran menurut mereka masing-masing .

Sekarang bagaimana jika profesional? Bersikap profesional juga seringkali tidak tepat–setidaknya bagi diri sendiri dan dapat berdampak juga pada organisasi. Misalnya, tidak adanya support serta gagasan atau pendapat yang dituangkan, entah diterima ataupun tidak, selalu saja hanya dianggap sebagai angin lalu. Jika demikian, orang-orang yang mencoba bersikap profesional itu akan menemukan titik lelahnya, lalu timbullah sifat egois serta apatis terhadap organisasi tersebut menggantikan profesionalitasnya.

Dalam realitasnya, hal-hal seperti itu sering terjadi. Teman saya misalnya, ia sempat mengalami hal tersebut. Ketika organisasi yang ia ikuti begitu-begitu saja, dengan permasalahan yang hampir sama, di situlah titik jenuh dan lelah menggerogoti profesionalitasnya. Dalam hal ini, orang-orang seperti teman saya menjadi serba salah: di satu sisi ia ingin bertanggung jawab yang mana, apa yang ia mulai ingin ia selesaikan, tetapi di sisi lain ia sudah jenuh dan merasa tidak nyaman berada dalam lingkungan organisasinya. Dilema akan terjadi ketika berada di titik ini.

Pada akhirnya, saya juga tidak bisa menafikan bahwa sifat atau bersikap egois itu memang perlu. Tujuannya agar dalam menjalani hidup, tak melulu memikirkan kebahagian atau kelancaran orang banyak dengan mengesampingkan kebahagiaannya. Lagi-lagi, peribahasa “bagai pisau bermata dua” akan cocok sekali jika dimasukkan ke konteks “profesional dan egois” dalam berorganisasi.

See Also

Begitulah kiranya gambaran serta opini saya mengenai sikap “profesional dan egois” dalam berorganisasi. Sahabat-Sahabat Matapena boleh mengamini ataupun tidak. Sebab, adanya tulisan ini merupakan hasil dari keresahan saya yang timbul akhir-akhir ini . Iya, saya sudah muak dengan pikiran saya yang selalu bergelut dengan “haruskah mempertahankan ego ataukah tetap mempertahankan sikap professional?”.

Karena seorang sahabat yang menyukai tembakau ampeg pernah berkata kepada saya, “ketika ada keresahan, lebih baik dituangkan dalam tulisan agar tidak menjadi gila sendiri,” jadinya saya menulis ini.

Mungkin hanya itu saja yang dapat saya tuangkan kali ini. Mohon maaf apabila ada yang tersinggung dengan adanya tulisan ini. Langkah ini juga sebagai sarana saya untuk bermuhasabah diri karena saya hanya manusia yang tak luput dari kesalahan. Semoga bermanfaat serta kembali lagi saya tekankan, “ketika memang tidak sependapat dan ingin berdiskusi lebih lanjut, monggo bisa bertemu dan mendiksikan hal ini di meja-meja perkopian. Terima kasih, akhir kata: tetap semangat dan lakukan yang terbaik dimanapun Sahabat-Sahabat Matapena melakukan proses intelektual dan ideologisasi. Wassalamualaikum.

 

Penulis: Akmal Rizka Wardana

Penyunting: Rizqi Hasan

Ilustrasi: Alfiyatun Hasanah

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top