Now Reading
Apakah yang Tidak Sama Selalu Tidak Adil?

Apakah yang Tidak Sama Selalu Tidak Adil?

Mungkin — sependek pengetahuan saya — di antara kanal-kanal platform media yang memfokuskan dirinya untuk lebih banyak membahas permasalahan tabu, konstruk sosial, isu-isu seksis, keadilan dan kesetaraan gender. Tidak ada yang lebih progresif, aktual dan kompatibel daripada Magdelene (Indonesian-based feminist webmagazine). Mungkin karena pembahasan-pembahasannya yang selalu hangat untuk diperbincangkan, kaya akan perspektif dan ini yang tak kalah penting, iklim tulisan yang selalu out of the box. Tapi, dari sekian banyak tulisan Magdelene yang – sempat saya baca — begitu banyak itu, tidak kurang dari 20 tulisan update setiap harinya. Ndilalah, saya kebetulan menemukan tulisan, yang jujur, cukup membuat saya kaget. Bukan karena tulisannya yang keren, untuk tidak menyebutnya biasa-biasa saja, tapi keambiguan dalam esei berjudul “Terbatasnya Ruang Salat Bagi Perempuan di Masjid dan Hak Istimewa Laki-laki.” (saya kasih linknya sekalian, https://magdelene.co/masjid-sediakan-ruang-salat-terbatas-untuk-perempuan) tulisan dari seorang perempuan bernama Chairunisa Larasdewanti. Lihat, bagaimana mbak yang katanya gemar menulis isu perempuan ini membuat judul. Bombastis sekali bukan?

Saya mencoba mengira-ngira, agaknya mbak Chairunisa ini sedang keranjingan hal-hal yang berbau kesetaraan, dan serta-merta menganggap apa-apa yang tidak sama adalah bentuk diskriminasi dan ketidakadilan. Dalam tulisannya, dia menceritakan keresahannya, kenapa sih di masjid atau mushola kok tempat buat jamaah cewek selalu lebih sempit? (penilaian domestik dari perjalanannya Jakarta ke Banyuwangi, yang akhirnya melahirkan tesis murahan bahwa semua masjid dan musola kebanyakan memang begitu) dia berkata, bahkan dalam ibadah pun perempuan masih mendapat perlakuan seksis. Mungkin kita sudah banyak yang tau bahwa seksisme diterjemahkan sebagai penggunaan kata atau perlakuan yang meremehkan atau menghina berkenaan dengan kelompok jender ataupun individual. Itu pengertitan yang saya tahu sih. Tetapi yang menjadi paradoks adalah, dalam tulisannya ia menjelaskan bahwa di Masjidil Haram loh memberikan perlakuan yang setara, tempat buat cewek dan cowok sama. Tidak ada ada yang diistimewakan. Nah loh, bukankah mbak ini sudah menjawab pertanyannya sendiri? Kan memang di sana tempat untuk kumpul para jamaah haji dan umroh yang seabrek itu, yang malah bagi saya, seharunya tempat buat jamaah perempuan yang harus lebih luas, mengingat populasi perempuan di dunia lebih banyak daripada laki-laki. Kata-katanya sih.

Saya akan mencoba memberi wacana tanding hanya dengan mengajaknya untuk membaca realitasnya sendiri, tidak akan menjawab dengan kutipan-kutipan dalil klise seperti apa yang dilakukan mbaknya. Sebenernya mbak Chairunisa itu kan sedang memberi pertanyaan berupa permasalahan sekaligus menjawabnya sendiri dalam waktu yang bersamaan. Saya sedikit mengamini sih, bahwa memang kebanyakan masjid atau musala memberi tempat buat para jamaah laki-laki lebih luas daripada jamaah perempuan. Tetapi, jika itu dikatakan sebagai bentuk perlakuan seksis kepada perempuan ataupun mengistimewakan laki-laki kok, jujur malah kelihatan konyol dan terkesan dibuat-buat.

Saya masih meyakini bahwa faktor kebiasaan lah yang melahirkan semacam sebuah nilai dan konsensus, termasuk mengapa di masjid atau musola tempat buat jamaah perempuan selalu lebih kecil. Sederhana sih sebenernya, mungkin musala atau masjid yang memberikan tempat lebih kecil buat jamaah perempuan itu sebab memang jamaah laki-laki biasanya lebih banyak daripada jamaah perempuan, saya bukan bermaksud menafikan, atau mengatakan bahwa untuk masalah akses, laki-laki lebih mudah untuk berjamaah di masjid atau musala daripada perempuan. Tapi bukahkah realitasnya memang begitu, ya kan malah lucu nanti satu masjid dibagi menjadi dua bagian, khusus buat jamaah perempuan dan laki-laki dengan space yang sama dengan dalih kesamarataan. Tetapi dalam kondisinya ada ketidaksesuaian porsi. Kalau mbak Chairunia pernah salat idul Fitri ataupun idul Adha di lapangan juga tau sendiri, panitia akan memberi space lebih luas untuk jamaah perempuan. Di daerah mbak juga gitu kan? Di musala dekat rumah saya juga lebih luas tempat jamaah perempuan kok daripada laki-laki, padahal setiap harinya lebih banyak laki-laki yang jamaah. Seserdehana itu mbak. Tidak ada perlakuan seksis, mengistimewakan atau apalah itu.

Kalau mbaknya sempat belajar ilmu faroid (ilmu waris) mungkin akan lebih kaget, di sana perbedaannya malah lebih tegas, kenapa perempuan mendapat satu bagian sementara laki-laki mendapat dua kali lipat. Di aqiqah juga pun begitu, anak laki-laki wajib aqiqah dua kambing, sementara anak perempuan hanya satu kambing. Konsep keadilan seperti apa yang bisa menjelaskan hal tersebut jika kita tidak mencoba tracking historisnya terlebih dahulu?

Betapa sering kerancuan istilah ini begitu dominan hari ini. Hal itu melahirkan kecurigan saya atas pengetahuan mbak Chairunisa tentang topik-topik yang dituliskannya. Apa mungkin, justru karena kekurangfahaman itulah yang membuatnya cuma bisa menghasilkan tuisan-tulisan “ringan” atas konsep-konsep yang diangap sangat serius saat ini, terutama di kalangan feminis dan aktivis perempuan. Pada akhirnya kata ‘keadilan’ dan ‘keistimewaan’ ini terlihat sangat bias. Apakah yang tidak sama adalah tidak adil dan selalu dianggap sebagai diskriminasi. Anologi sederhananya begini, ada orangtua punya dua anak laki-laki, satunya sudah jadi mahasiswa, satunya masih TK. Lalu agar terlihat adil, orangtuanya membelikan baju anak yang TK tadi sama dengan anak yang sudah mahasiswa itu. Apakah ini dapat dikatakan sebagai konsep keadilan? Iya jika dilihat luarnya, tapi amat tidak bijak dan lucu. Maka, ada yang lebih luhur nilainya daripada kedilan dan kesamarataan, yaitu kebijaksanaan seperti apa yang seringkali dikatakan para filsuf-filsus itu.

See Also

Jadi mbak Chairunnisa yang cantik,  (karena perempuan, kalau ganteng kan aku) tidak perlu terburu-buru dan serius-serius amat nyikapin hal begituan. Santai saja. Lihat realitasnya dulu. Konsep beribadah dalam agama tidak sejahat seperti apa yang dibayangkan sampean kok mbak, agama itu friendly sekali.

Tapi, sampean ndak punya niatan mempermasalahkan mukena-mukena yang ada di masjid dan musola sebagai perlakuan seksis kan mbak? Biasanya kan emang tidak banyak-banyak amat? Hehe. Salam sayang!

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top