Now Reading
“Bagaimana Seharusnya Kebudayaan Dimaknai: Usaha Pembacaan Jarak Jauh Film Ngeri-ngeri Sedap”

“Bagaimana Seharusnya Kebudayaan Dimaknai: Usaha Pembacaan Jarak Jauh Film Ngeri-ngeri Sedap”

Untuk menjaga kemurnian industri film, saya tidak akan berniat membocorkan dengan membicarakan jalan cerita ataupun sinopsis film. Bukan karena saya tidak bisa, karena sepertinya hal itu lebih mudah dan klise daripada harus melakukan pembacaan jarak jauh. Dan jangan pula tulisan ini dilabeli sebagai kritik film, khawatir dicibir Saut Situmorang seperti ia mencibir Rhenald Kasali karena, ketimbang menganalisis, Kasali malah sibuk mempromosikan diri di akun Youtube-nya sendiri. Problem akademik kita, membiaskan apa yang sejatinya terang.

Mengambil Batak sebagai latar tempat,”Ngeri-ngeri Sedap” cukup berhasil mengemas film keluarga menjadi kompleks dan lebih emosional. Terlepas dari itu, saya mencoba mengambil satu wacana dasar, isu yang kemudian saya anggap serius dalam film “Ngeri-ngeri Sedap”, yaitu bagaimana seharusnya tradisi dan kebudayaan dimaknai dan dijalankan di kehidupan hari ini.

Adalah Pak Domu (Arswendy Bening Swara) yang tidak sepakat dengan hubungan cinta dua anaknya; Domu (Boris Bokir), anak sulungnya, dengan Neny (Indah Permatasari) perempuan Sunda. Juga hubungan Sarma (Gita Anggita Butar Butar), anak kedua, dengan lelaki Jawa (anonim). Keyakinan yang konservatif pada hal yang dianggap sebagai satu kebenaran adat, lalu diamini oleh mayoritas membuat Pak Domu tidak menyepakati hubungan percintaan Domu dan Sarma. Ia mengatakan kepada Domu, “Bagaimana nanti jika Istrimu bukan mojang boru Batak. Pasti ia tak tahu adat”. Domu membalasnya tak kalah superior “Saya mencintai dia, entah dia Batak, Sunda, Jawa, ia kan sama-sama manusia”. Tak berhenti di sana, meski disimpan dengan plot yang rapi menuju klimaks, ketaksetujuan Pak Domu kepada lelaki Jawa pilihan Sarma juga mengindikasikan bahwa fanatisme akan kebudayaan kerap menjadi satu problem mendasar kesenjangan sosial dalam kehidupan kultural kita.

Dalam konteks ini, saya mencoba meminjam teori Culture studies sebagai satu cara untuk melihat lebih dalam bagaimana kebudayaan dimaknai sebagai sesuatu yang arif dan dinamis. Teori Cultural studies atau sering disebut dengan teori kajian budaya milik Stuart Hall adalah teori yang mengadopsi teori kritis Marx. Lahir di tengah semangat Neo-Marxisme  (meredefinisikan Marxisme), ia dimunculkan sebagai satu upaya perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni budaya tertentu.  Cultural studies berakar dari gagasan Karl Marx, yang mempunyai pandangan bahwa kapitalisme telah menciptakan kelompok elit kuasa untuk melakukan eksploitasi terhadap kelompok yang tidak berkuasa dan lemah. Pengaruh kontrol kelompok berkuasa terhadap yang lemah menjadikan kelompok yang lemah merasa tidak memiliki kontrol atas masa depan mereka. Stuart Hall (1979) berpendapat bahwa suatu budaya pasti memiliki dan menyimpan ideologi yang lebih berkuasa. Culture studies tidak hanya mengkaji budaya yang merupakan entitas tersendiri dan terpisah dari konteks sosial dan politiknya. Namun juga memahami budaya dalam segala bentuk kompleksnya serta menganalisis konteks sosial dan politik tempat budaya tersebut berasal. Saya ras, Culture studies cukup relevan dan kompatibel untuk mengkaji bagaimana ideologi Pak Domu, sebagai orang tua melarang anaknya menikah dengan orang non-Batak beroperasi.

Sebagai keluarga yang menjunjung tinggi adat istiadat suku Batak, barangkali Pak Domu khawatir jika anaknya, dalam hal ini adalah Domu dan Sarma kawin dengan orang non-Batak. Sama seperti mayoritas keluarga Batak lainnya, Pak Domu tentu lebih senang jika anak-anaknya memiliki pasangan yang juga berasal dari suku yang sama. Ini yang kemudian membuat Pak Domu juga berusaha menerapkan tradisi dan kebudayaan tersebut kepada anak-anaknya. Bene Dion selaku sutradara dan penulis naskah “Ngeri-ngeri Sedap” mengarahkan Pak Domu, selain sebagai orang tua yang kolot, juga menjadi representasi bagaimana hegemoni budaya berjalan. Dalam konteks Domu, anak sulungnya yang merantau di Jawa Barat mencoba menawarkan negosiasi kepada Pak Domu beberapa hal; antara lain kesediaan Domu mengajak calon istrinya menikah dengan prosesi Batak. Dan ditambah dengan ia secara diam-diam mengajarkan calon istrinya bahasa Batak. Bahwa kemudian, yang sesungguhnya menjadi satu problem bukan lagi kebudayaan, tapi kuasa dan politik kultural yang mendasari Pak Domu sebagai orang tua. Orang tua yang lebih mendominasi dan tidak memberikan ruang alternatif inilah yang melatarbelakangi konflik mayor dalam film ini.

Hal ini dibuktikan dengan sikap Pak Domu yang  tidak pernah menyepakati apa yang dipilih dan dijalani 2 anak lelakinya yang lain, di antaranya; Pak Domu merasa terhina dengan pekerjaan Gabe (Lolox), anak keduanya sebagai pelawak di televisi, alasannya: ia merasa rugi menguliahkannya di jurusan hukum; perspektif yang dipakai Pak Domu hampir sama dengan perspektif-perspektif yang digunakan orangtua pada umumnya; pekerjaan harus jelas dan linier dengan ilmu yang dipelajari ketika kuliah. Kuliah hukum ya harus menjadi jaksa atau pengacara, jangan jadi pelawak. Kedua, tuntutan Pak Domu kepada Saat (Indra Jegel), anak bungsunya untuk pulang dan merawat orang tua, sebab, menurut tradisi  dan keyakinan orang Batak, anak terakhir yang mendapat warisan rumah orang tuanya.

Kebudayaan, meskipun ia memiliki norma dan pranata sosial yang spesifik, ia seharusnya juga mengamini bahwa hetergonitas adalah satu keniscayaan dalam kehidupan. Pak Domu tidak peduli bahwa Batak memiliki prosesi Mangain. Dalam sistem pernikahan Batak, Mangain merupakan tradisi pemberian marga kepada seseorang yang bukan keturunan suku Batak, hal ini harus dilakukan jika ingin menikah dengan keturunan asli Batak. Proses Mangain dilakukan dengan cara mengangkat seseorang yang bukan keturunan Batak (suku lain) sebagai anak angkat dari keluarga keturunan Batak yang telah ditunjuk. Setelah diangkat dan diberi marga, ia akan dianggap sebagai bagian dari keturunan sah dan berhak menyandang salah satu marga Batak.

Setelah melewati prosesi pembelian marga yang panjang dan penuh tawar menawar, pasangan yang akan menikah masih dihadapkan pada prosesi Mandok Hata untuk calon pengantin. Mandok Hata merupakan tradisi khas suku Batak yang biasanya diadakan ketika menyambut malam pergantian tahun. Seluruh anggota keluarga harus ikut tanpa kecuali mulai dari yang tua sampai kepada anak-anak. Sesuai dengan namanya, Mandok Hata berarti berbicara. Pada tradisi ini seluruh keluarga dipersilakan berbicara. Dalam hal ini memberikan nasihat dan petuah kepada pasangan yang akan segera menikah.

Film “Ngeri-ngeri Sedap” menjadi  satu percontohan film yang cukup sukses membuka jendela kebudayaan masyarakat yang hidup di sekitaran Toba secara mendetail. Ia membicarakan fenomena yang kadang luput, atau bahkan dianggap sebagai satu kewajaran di realita sosial. Selain visualisasinya yang ciamik, film ini memiliki alur dan struktur yang variatif, penonton akan diajak menertawai dan menangisi alur cerita –sesuatu yang sebenarnya sangat dekat dengan dirinya– secara temporer dan berkelanjutan. Menuju klimaks dan akhir film, penonton akan merasakan satu kegetiran dan rasa sesak yang ganjil–secara tidak langsung berhasil membuat air mata berlelehan di pipi-pipi. Relate banget dengan society 5.0.

 

See Also

 

Penulis : Rizal Kurniawan

Penyunting : Alfiyatun Hasanah

Ilustrasi : Pinterest

 

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top