Balada Covid-19: Global Problem dan Si Brengsek yang Menjual Satu Box Masker Seharga Anak Kucing Anggora Lokal
Perempuan penyuka kucing yang telapak kakinya selalu bercahaya itu merasakan bahwa di seluruh kujur tubuhnya, sejengkalpun tidak sanggup merdeka dari jejak-jejak kekasihnya yang baru saja mati tertabrak wifi. Stop! Kau tidak sedang menulis cerpen atau puisi, brengsek! Apa yang hendak kau bicarakan di dalam tulisanmu?
Kalimat di atas hanya biar kalian merasa seperti membaca puisi naratif, atau biar terkesan seperti membaca sebuah prolog di naskah-naskah drama (yang klise). Tetapi, sebelum tulisan ini berjalan menuju pelukanmu, mari sama-sama mengamini bahwa hari ini kita semua adalah manusia-manusia yang benar-benar telah kehilangan tema. Tidak perlu difikir terlalu dalam, sebab, rentetan kata sebelum sebab hanyalah sampah-sampah yang kebetulan berwajah bahasa.
Pertama, saya menulis bukan bermaksud ingin dikatakan sebagai ahli kesehatan dadakan apalagi dukun kampung yang hobi ngeramal. Saya juga tidak berkenan untuk menjadi semacam Multatuli yang memutuskan menulis Max Havelaar sebab terusik nuraninya ketika melihat sistem kolonial Belanda yang menyengsarakan pribumi. Saya juga tidak cukup pantas untuk berkeinginan menjadi semacam Ranggawarsita yang diceritakan dalam serat Kalitidha dapat meramalkan hal-hal jauh ke depan dan belum terjadi. Apalagi menjadi seperti seorang Syekh Siti Jenar yang saking makrifatnya sampai-sampai Walisongo harus menyidang dan berakhir dengan keputusan untuk membunuhnya, alasannya sangat maslahat; dia memberitahukan ilmu yang berkemungkinan menyesatkan orang-orang awam. Tahan sebentar, rupa-rupanya sedari tadi saya terlampau bertele-tele. Baiklah, saya akan berusaha menulis dengan cara yang lebih serius.
Hari ini, bahkan sampai detik ini, saya, kalian dan orang-orang di luar sana sedang diliputi rasa was-was, sedih, getir, iba bahkan sampai ketakutan. Kita sama-sama tahu, apa yang membuat orang-orang merasakan itu, mari kita menyebutnya dengan bisikan yang sangat pelan — agar jangan sampai dia melihat kita sedang bertatap muka meskipun hanya lewat sebuah tulisan –, benar; pandemi Coronavirus atau Covid-19. Mikroorganisme dengan nama medis 2019-nCov yang pertama kali mengudara di Wuhan, China. Lalu menyebar ke beberapa Negara lain, termasuk Indonesia. Menurut orang-orang ahli, Coronavirus ini masih satu circle dengan virus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome). Kesamaan kedua virus ini dengan Covid-19 adalah, virus ini sama-sama menyerang sistem pernafasan dan virus ini juga sama-sama ditularkan oleh hewan kelelawar. Saya tidak akan berbanyak-banyak mengenai penjelasan virus ini lebih dalam, sebab saya tidak punya kapasitas itu. Saya juga tidak akan melanjutkan fakta-fakta yang terdengar menakutkan terkait virus ini, termasuk virus ini tersusun dari RNA, bukan DNA, oleh sebab itu dia dapat bermutasi 1000 kali lebih cepat. Atau virus ini mempunyai sifat seperti virus lainnya, ia dapat berepiklasi, meskipun orang-orang yang terjangkit virus ini sudah mati, dia akan tetap hidup dan terus menyebar. Saya juga tidak akan membahas apakah virus ini termasuk bagian dari konspirasi global; ada yang mengatakan bahwa virus ini memang sengaja dibuat oleh pemerintah China dengan tujuan polulation control. Kita semua tahu bahwa Tiongkok adalah negara yang over populated, sehingga pemerintah China membuat virus ini untuk mengurangi populasi warga Negaranya yang sudah terlalu banyak. Juga ada yang mengatakan, virus ini sebenarnya adalah senjata biologis yang dirancang pihak militer dan bocor di sebuah laboratorium Wuhan. Juga ada yang mengatakan, bahwa hadirnya virus ini adalah program per 100 tahun kelompok elit dunia untuk mengurangi populasi di bumi sejak 1720 (wabah The Great Plague of Merseille di Perancis) lalu 1820 (First Cholera Pandemic di India), berlanjut 1920 (The Spanish Flu di Spanyol) dan terakhir adalah 2020, (Covid-19 di China). Asumsi-asumsi itu boleh jadi benar boleh jadi salah, ataukah hanya sebatas cocokologi semata.
Yang paling menyedihkan dari sejak adanya virus ini adalah timbulnya perasaan sugesti dan paranoid berlebih yang berdampak pada, saya sebut saja sebagai krisis kemanusiaan. Mulai dari adanya oknum-oknum brengsek yang memborong dan menimbun masker, handsanitizer dan APD (Alat Pelindung Diri) lainnya di apotek-apotek — yang menyebabkan stok habis — lalu menjualnya dengan harga yang sungguh tidak masuk akal. Saya hanya tahu sedikit tentang prinsip ekonomi yang berbunyi kurang lebih “modal kecil untung besar”, tetapi, memberlakukan prinsip itu di kondisi yang semakin hari semakin parah apa itu tidak sialan? Berjaga-jaga memang boleh, tetapi tolong yang wajar. Toh, kata platform resmi milik pemerintah (COVID19.GO.ID) yang khusus memobilisasi arus informasi Covid-19 ini mengatakan, yang sebenarnya harus memakai masker adalah orang yang pilek, batuk atau sakit yang berpotensi menular serta protokol-protokol kesehatan yang bertugas melayani orang-orang sakit. Hari ini, masker bukan untuk style, tetapi untuk hal-hal urgent.
Tau kan berapa jumlah dokter yang gugur di tengah pekerjaannya melayani dan merawat orang-orang sakit di tengah wabah Covid-19? yang salah satu sebabnya adalah kurangnya alat pelindung diri (saya menulis ini dengan hati yang gemetar), kita kirim fatihah untuk mereka, semoga diberikan tempat yang terbaik, aamiin.
Terlepas dari itu, saya teringat kejadian pada suatu malam ada seorang yang tiba-tiba tergeletak di pinggir jalan. Orang-orang di sekitarnya sadar dan tau bahwa orang itu memerlukan bantuan. Tetapi, semenjak masyarakat tau tentang bahaya Covid-19, orang yang tergeletak tadi tidak ada yang menolong. Alasanya klasik, jika orang yang tergeletak itu ternyata terinveksi virus Corona, maka orang yang berkontak fisik dengannya akan secara langsung tertular. Di kondisi dilematis semacam itu, orang-orang sudah tidak lagi berdoa dan berharap perihal kesembuhan orang yang tergeletak tadi, tetapi, orang-orang akan berfikir satu frame, dengan harapan semoga orang itu tidak terinveksi Covid-19 yang akan berdampak dengan trigger kabupaten Jember sebagai wilayah red zone, sebab ada satu orang di daerahnya yang positif. Setelah ditelusuri dengan cepat, ternyata orang yang tergeletak tadi adalah orang yang punya riwayat serangan jantung. Kita tidak dapat menyalahkan siapa-siapa atas kejadian itu. Memang, begitu menakutkan dampak yang terjadi dari adanya virus ini terhadap cara berfikir masyatakat kita. Ironis memang, tetapi begitulah realitasnya.
Sugesti yang berlebih dengan bentuk lain adalah, saya akan mencontohkan satu kasus, sebut saja Waluyo, pagi-pagi dia merasa sakit tenggorokan dan sedikit meriang, (dia sudah tersugesti dengan fenomena yang ada) dia merasa bahwa dirinya sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Waluyo pun langung pergi ke rumah sakit tanpa mengenali gejala klinisnya terlebih dahulu atau sekedar menghubungi 119 yang disediakan khusus pemerintah untuk melayani masyarakat yang ingin curhat (konsultasi kesehatan) di tengah merebaknya Covid-19. Akibatnya, antrean di rata-rata rumah sakit menjadi membludak. Perawat dan petugas rumah sakit kesusahan melacak dan membedakan mana orang yang benar-benar sakit dan membutuhkan pengobatan, dan mana orang-orang yang terkena reaksi psikosomatik. Reaksi yang muncul ketika kita membaca berita tentang gejala virus corona, lalu tiba-tiba kita merasakan tenggorokan agak gatal, nyeri dan merasakan sedikit meriang walaupun suhu tubuh normal.
Kisah yang lain, saya juga sempat membaca di status akun salah satu social media, akun tersebut mungkin bermaksud untuk membuat lelucon, isinya kurang lebih begini; pada suatu percakapan di tengah wabah Covid-19, ada seorang yang mengatakan kepada temannya bahwa ia positif terinveksi Covid-19, lalu salah satu temannya menjawab, “wah bagus dong, setidaknya ada yang positif dari hidupmu.” Guyonan semacam itu memang terkesan jleb dan menohok, tetapi, di kondisi saat ini, kita sepertinya membutuhkan hal-hal smacam itu untuk sekedar menghibur dan memotivasi diri sendiri. Kita juga berhak untuk sedikit terhibur dengan fatwa yang baru saja keluar dari proses Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mereka yang notabene terdiri dari ulama-ulama kaliber dengan kapasitas ilmu agama yang sudah tidak perlu diragukan menyimpulkan, bahwa Covid-19 termasuk tho’un atau wabah, sehingga (insyaallah) orang-orang yang meninggal lantaran virus corona bisa dikatakan sebagai orang yang mati syahid (tidak hanya oknum yang gemar mengibarkan bendera tauhid lalu berteriak takbir yang bisa mengklaim syahid ketika menjadi korban bom bunuh diri). Hehe.
Terkait gerakan #dirumahsaja juga selayaknya disikapi secara bijak dan egaliter. Demi keberlangsungan hidup, yang bertani silakan bertani dengan ikhlas, yang melaut tetaplah melaut dengan hati yang bahagia, yang beraktivitas dan berkegiatan di luar rumah dan di ruang publik, semoga selalu bersemangat dengan tetap berhati-hati, waspada dan senantiasa menjaga diri. Gerakan #dirumahsaja juga berdampak pada kebijakan-kebijakan yang keluar di setiap institusi pendidikan dan instansi-instansi lain. Contohnya, diberlakukannya kuliah online. (Jujur saya agak merasa risih ketika mengetik kalimat itu, mengingatkan saya pada tugas-tugas online yang sepertinya terus beranak pinak). 🙁
Memang, gerakan ini agak kontradiksi jika dibenturkan dengan budaya masyarakat kita yang lebih suka berkumpul, paccapah, guyub, kongkow-kongkow, nongkrong. Berat memang, tetapi, gerakan ini tidak dapat dikatakan sebagai gerakan untuk tranding atau gerakan yang hanya sekedar menye-menya atau alay. Kalian bisa baca-baca sendiri, negara-negara yang berhasil menggembosi grafik peningkatan penyebaran virus ini dengan cara mengisolasi diri. Salah satu contohnya adalah Korea Selatan.
Terakhir, semoga wabah ini cepat berlalu dan kita, keluarga kita, orang tersayang kita dijauhkan dari segala bahaya. Dengan kondisi saat ini, bukan hanya pemerintah yang bertugas dalam menangani, tetapi kita semua juga bertanggungjawab dalam menyelesaikan global problem ini. (kalimat ini saya ambil dari Relawan Gabungan Covid-19 Jember yang kemarin baru saja melakukan sosialisasi dan edukasi terkait virus ini). Semoga kita semua selalu dalam kondisi mental yang kuat dan selalu baik-baik saja. Tetap jaga pola hidup sehat, berjemur minimal 10 menit di pagi hari, olahraga secukupnya, makan-makanan yang bergizi, cuci tangan pakai sabun dan bersihkan tangan dengan antiseptic (kalimat ini juga saya ambil dari sosialisasi Relawan Gabungan Covid-19) Dan, untuk kali ini saya tidak akan menutup dengan tulisan “sini peluk!”, meski dalam tulisan, aku dan kalian harus tetap saling jaga jarak. uwu.
Jember, 25 Maret 2020.
Love it
Makasih