Now Reading
Berani Bicara dan Melawan Kekerasan Seksual: Sebuah Pembacaan Sederhana Film “Penyalin Cahaya”

Berani Bicara dan Melawan Kekerasan Seksual: Sebuah Pembacaan Sederhana Film “Penyalin Cahaya”

Semoga saja tulisan ini tidak dimaknai sebagai pengkajian atau kritik film, karena barangkali saya akan selalu lebih suka membicarakan muatannya ketimbang urusan teknis. Ya, walaupun akhirnya hal itu akan tetap saya sertakan dalam konteks sebagai orang awam. Biarlah urusan teknis dibahas oleh teman-teman program studi televisi dan film. Bisa saja sebenarnya tulisan ini dimaknai sebagai kritik film, tapi itu terlalu jauh. Saya jadi punya tanggungjawab untuk menggunakan pendekatan keilmuwan tertentu yang cenderung akademis. Biarlah tulisan ini menjadi sesuatu yang ringan dan tidak kaku.

Mengangkat isu kekerasan seksual sebagai tema mayor, film ini dapat menjadikannya begitu menarik untuk terus dibahas. Sejak dulu kekerasan seksual adalah hal yang kompleks dan selalu sukar diselesaikan. Sudut pandang baru juga membuat film ini dapat memberikan kesan yang fresh di dunia film Indonesia. Film ini tidak hanya sekadar berbicara soal bagaimana korban berjuang dan menyembuhkan traumanya. Tapi film ini kemudian berbicara bagaimana korban melawan dan berani. Selama ini, soal isu kekerasan seksual kebanyakan film akan mengangkat cerita kehidupan korban kekerasan seksual berjuang dan menghadapi traumanya. Atau meskipun sebenarnya isu kekerasan seksual akhir-akhir ini banyak dibahas pada film-film tertentu dan masif, hal itu masih sekadar menjadi tema minor. Bahkan cerita yang diangkat cenderung menceritakan “kekalahan dan rasa putus asa”.

Suryani (Shenina Cinnamon) yang mengalami kekerasan seksual namun tidak ingat apapun karena dijebak dengan minuman beralkohol saat menghadiri undangan pesta UKM Teater Matahari di kampusnya. Pesta tersebut diadakan sebagai bentuk selebrasi atas kemenangan sebuah penghargaan yang diikutinya. Ini menjadi titik awal seorang Sur bertekad untuk mencari pelakunya. Meskipun berbagai hal dihadapi Sur saat mencoba “melawan” dan “berani”. Selain itu, hal yang kemudian membuat tekad Sur semakin bulat adalah ketika beasiswa yang diikutinya nyaris dicabut akibat fotonya saat mabuk kemudian tersebar di media sosial.

Pencarian Sur ini menjadi plotting yang menarik dan menempatkan tokoh utama sebagai detektif. Tentu, perjalanan Sur memecahkan pelaku kekerasan seksual ini juga menempatkan penonton tidak berhenti bernapas. Dari awal hingga akhir cerita penonton selalu dibuat menebak-nebak tentang siapa pelaku sebenarnya. Untuk menjalankan misi itu, Sur mencoba meminta bantuan teman masa kecilnya (Chicco Kurniawan)  yang juga membuka tempat fotocopy dan print di kampusnya.

Suryani mencoba mencari bukti-bukti tersebut dengan menelusuri data-data setiap orang yang dicurigai sebagai pelaku. Ia semacam mencuri data orang-orang yang hendak melakukan print atau fotocopy. Entah bagaimana caranya, Sur dapat melakukan hal tersebut karena memang linier dengan basis fakultatifnya sebagai mahasiswa jurusan komputer.

Meskipun dengan tekad yang bulat dan berani, bukan tanpa halangan saat harus mencari siapa pelaku yang telah melakukan perlakuan bejat itu kepadanya. Banyak tantangan yang harus dihadapinya, mulai dari keluarga yang tidak mendukung dan menyuruhnya untuk diam serta meminta maaf daripada beasiswanya dicabut. Pada akhirnya, Sur harus meminta maaf dihadapan banyak orang karena dianggap mencemarkan nama baik Rama (Giulio Parengkuan) sebagai salah satu orang yang menjadi kandidat terkuat atas kasus yang dihadapi Sur. Belum lagi Sur harus menghadapi tekanan dari pihak kampusnya yang tidak percaya atas pelaporan kekerasan seksual yang dihadapinya.

Meskipun film ini telah rilis sekitar 2 tahun lalu, namun isu yang diangkat masih tetap relevan untuk dibahas. Ada beberapa hal yang kemudian dapat saya jadikan poin-poin untuk mendukung mengapa muatan ini begitu penting, kompleks, dan menarik.

Budaya Patriarki Melalui Praktik Hegemoni

Sadar atau tidak, budaya patriarki hampir dapat dilihat pada semua lini kehidupan di Indonesia. Lingkup keluarga, masyarakat, bahkan ruang-ruang publik seperti pemerintahan. Bentuknya juga berbagai macam, mulai dari yang tersirat hingga terang-terangan. Bahkan hal ini akrab dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya pembagian peran dalam pekerjaan domestik yang sering kali diidentikkan dengan perempuan, akses pendidikan yang lebih mendahulukan laki-laki daripada perempuan, dan masih banyak yang lainnya.

Pada dasarnya patriarki menganggap bahwa kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Perempuan ditempatkan pada posisi kedua atau subordinat. Inilah yang menjadi titik awal, ketika patriarki tumbuh dan semakin berkembang maka berpotensi besar melahirkan adanya kekerasan seksual.

Meminjam teori hegemoni yang dikemukakan oleh Gramsci bahwa agar suatu kekuasaan dapat langgeng dan abadi membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Pertama, perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau dengan kata lain kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa law enforcement. Perangkat kerja yang demikian biasanya dilakukan oleh pranata negara, seperti militer, hukum, polisi bahkan penjara. Perangkat kerja yang kedua adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat dan taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian bahkan keluarga.

Poin pertama ini tentu berkaitan dengan perangkat kerja kedua, tepatnya melalui kesenian. Pada dasarnya, tokoh Rama dalam film ini memang berperan sebagai produser Teater Matahari. Keluarga Rama adalah seorang seniman patung dan sangat kaya raya. Inilah yang juga dalam filmnya dijadikan senjata untuk kemudian merepresi tokoh Sur.

Tidak Ada Toleransi! Kekerasan Seksual Tetep Kekerasan Seksual

Menurut Fakih (2013: 17-20) ada 8 bentuk kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan. Salah satunya adalah kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi adalah jenis kekerasan lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan di mana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang.

Tokoh Rama dalam film ini mencoba memanfaatkan tubuh Sur sebagai objek eksplorasi kesenian. Sebenarnya tidak hanya Sur, pada bagian ending disebutkan bahwa ada beberapa korban yang juga diperlakukan sama untuk kepentingan Rama. Rama memanfaatkan tubuh para korban untuk difoto dan dijadikan instalasi dalam teaternya. Dan Rama mengatur rencana sedemikian rupa agar hal itu tidak tampak mencurigakan.

Meski begitu, pada akhirnya hal yang ganjal dapat ditemui Sur saat menyadari bahwa baju yang dipakainya menjadi terbalik pascapesta di rumah Rama tersebut. Hal ini yang kemudian menjadi titik awal Sur untuk melakukan penelusuran. Ia mengumpulkan banyak bukti-bukti atas kecurigaannya itu.

Penyintas Kekerasan Seksual dan Stereotipe

Sebagaimana disebutkan pada poin sebelumnya, tokoh Rama tidak hanya melakukan tindakan tersebut pada satu orang. Namun, telah banyak orang menjadi korban. Tidak hanya perempuan, bahkan laki-laki pun menjadi korban. Dan parahnya lagi laki-laki yang menjadi korban adalah salah satu anggota dari Teater Matahari yaitu Tariq (Jerome Kurnia).

Nah, ini yang kemudian menarik dalam film. Bukan hanya menceritakan korban kekerasan seksual yang dialami perempuan, laki-laki pun juga bisa menjadi korban. Di Indonesia yang sering menjadi korban memang lebih banyak perempuan. Ketika seorang laki-laki menjadi korban kekerasan seksual, lantas stigma turut mengikutinya. Hal ini memiliki keterkaitan konsep stereotipe. Jika seorang laki-laki menjadi korban kekerasan, maka hal tersebut dianggap tidak lazim. Hal ini dikarenakan anggapa bahawa laki-laki itu adalah orang yang kuat dan seharusnya bisa melawan.

Stereotiope adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Dan stereotipe ini seringkali menimbulkan ketidakadilan. Kemudian ketidakadilan tersebut dilekatkan pada jenis kelamin tertententu. Jenis stereotipe juga salah satunya bersumber dari pandangan gender. Laki-laki dianggap sebagai orang yang kuat. Sementara perempuan adalah kelompok orang yang lemah dan tidak bisa melawan. (Fakih, 2013: 16-17).

Kesadaran Kolektif Itu Penting

Menurut Ritzer (2012: 138) kesadaran kolektif mengacu struktur umum pengertian-pengertian, norma-norma, dan kepercayaan-kepercayaan yang diyakini bersama. Oleh karena itu kesadaran kolektif merupakan suatu konsep yang serba mencakup dan tidak terbentuk.

Menuju ending film Penyalin Cahaya ini, tokoh Sur pada akhirnya memperoleh beberapa dukungan terutama dari Farah dan Tariq yang juga merupakan korban kekerasan seksual yang dilakukan Rama. Mereka bertiga mencoba menelusuri bukti primer yang diduga ada pada supir NetCar. Semacam taksi online yang digunakan untuk mengantarkan Sur pulang saat mabuk. Dan taksi tersebut juga diduga taksi yang sama dengan yang digunakan oleh Farah dan Tariq.

Pada bagian pertengahan film, Farah mencoba denial dan tidak menggubris pernyataan Sur terkait dengan foto bagian tubuhnya yang berada di instalasi pementasan Teater Matahari. Namun, berbeda pada bagian akhir, mereka kemudian bersatu untuk mencari bukti paling kuat. Meskipun bukti tersebut dimusnahkan oleh Rama sendiri karena mengamankan dirinya sendiri. Mereka bertiga tidak lantas putus asa.

Penggambaran ending mungkin sedikit terbuka. Film ini hanya ditutup oleh Sur dan Farah yang kemudian menggunakan mesin foto copy untuk menyebarkan bukti-bukti yang masih mereka punya di kampusnya. Ini juga menjadi bagian yang cukup dramatis karena dalam menyebarkan kertas fotocopy tersebut tidak hanya dilakukan oleh mereka bertiga. Ada beberapa orang yang kemudian speak-up tentang pengalaman atas kekerasan seksual yang dilakukan oleh Rama.

Kasus ini hanya bagian kecil dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang ada di Indonesia. Berdasarkan Catahu per Januari 2023 korban kekerasan seksual di Indonesia mencapai 17.964 korban. Dan 15.922 adalah korban perempuan. Sementara 3.640 adalah korban yang berjenis kelamin laki-laki.

Bagi saya film ini kemudian memunculkan berbagai pertanyaan di kepala. Kengerian sekaligus memberi dorongan dalam waktu yang bersamaan. Ngeri ketika tahu bahwa penulisnya adalah pelaku kekerasan seksual di masa lalunya. Dan mungkin saja ini dapat menjadi dorongan bagi penyintas di Indonesia untuk menjadi lebih berani lagi melawan kekerasan seksual. Satu hal lagi kengerian yang suka berkemelut saat film berakhir, di film ini adalah penyintas kekerasan seksual yang berani untuk speak-up, lantas bagaimana dengan mereka yang tidak berani?

 

penulis: Fatmawati

editor: Haikal

 

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top