Now Reading
Binatangisme: Representasi Biasnya Kebijakan Pemerintahan Kita

Binatangisme: Representasi Biasnya Kebijakan Pemerintahan Kita

 

Judul Buku : Binatangisme (Animal Farm)
Penulis : George Orwell
Penerjemah : Mahbub Djunaidi
Penerbit : Gading
Tahun Terbit : 2019 (Cetakan III)
Jumlah Halaman : X + 153 Hlm

Membaca judul buku Binatangisme membuat dahi saya berkerut memahami apa makna dari kata tersebut. Semacam aliran atau paham seperti apakah binatangisme itu? Rasa penasaran akan pertanyaan tersebut membuat saya ingin membaca buku ini. Dan baru ngeh, ketika membaca pengantar penerbit pada buku dan disebutkan bahwa Binatangisme merupakan terjemahan dari buku Animal Farm karya sastrawan besar Inggris yaitu, George Orwell dan diterjemahkan dengan gaya parodi, kritis, humoris, dan tajam oleh Mahbub Djunaidi.

Animal Farm terbit pertama kali tahun 1945. Awalnya buku ini tidak mendapat perhatian sama sekali karena dianggap sebagai cerita dongeng binatang saja. Belakangan, barulah disadari bahwa karya ini merupakan sebuah kritik alegoris yang tajam pada kekuasaan yang otoriter.

Animal Farm disalin ke bahasa Indonesia pertama kali tahun 1963 oleh Joesoef Sou’yb, seorang penulis profilik asal Medan. Salinannya diterbitkan oleh penerbit “Seminar” dengan judul Kisah Pertanian Hewan. Judul harfiah yang diberikan Joesoef Sou’yb tersebut memang tidaklah keliru, tapi gemanya menjadi terasa lucu dan menggelikan.

Barulah pada tahun 1983, H. Mahbub Djunaidi, kolomnis terkemuka era itu, menerjemahkan ulang Animal Farm. Situasi pengap Orde Baru yang sepertinya melecut Mahbub untuk menerjemahkan ulang karya tersebut. Terjemahan itu diterbitkan oleh penerbit “Iqra”, Bandung. Dan diberi judul Binatangisme. Judul yang bukan harfiah dari buku aslinya, tetapi hal tersebutlah yang membuatnya lebih segar dan mengena.

Mahbub bukanlah penerjemah yang patuh pada bahasa sumber. Penerjemah yang patuh biasanya sangat setia pada makna asli, namun resikonya, terjemahannya sangat harfiah dan kaku. Mahbub sendiri lebih pada pemaknaan daripada kesetiaan harfiah. Karena itu terjemahannya sangat mengalir, lincah, lancar, kontekstual dan pembaca seolah disuguhkan karya berbahasa Indonesia asli.

Binatangisme menceritakan tentang pemberontakan yang dilakukan oleh para binatang terhadap Tuan Jones pemilik peternakan “MANOR”. Pemberontakan ini dipelopori oleh seekor babi putih yang cerdas bernama Si gaek Major. Ia merupakan babi tertua yang dihormati di peternakan itu, sehingga siapa saja tidak akan keberatan dan merasa rugi satu meski mengorbankan jam tidur hanya untuk mendengarkan apa yang tercetus dari mulutnya. Di sisa umurnya, ia mengumpulkan seluruh binatang yang ada di peternakan dan mulai berpidato perihal mimpinya akan kemerdekaan bagi para binatang.

“Sahabat-sahabat! Karena, hampir seluruh hasil kerja keras kita, hasil perasan keringat kita, bersimbah peluh yang kita alami, punggung kita yang rasanya mau remuk dan dengkul mau copot karena karya kita dari dini hingga nyaris jauh malam, kesemua hasil itu habis dicuri dan dilahap oleh bangsa manusia! Mereka pencuri bangsat dari semua yang kita kerjakan! Tak ada yang luput dari copetan mereka, rampokan mereka, masuk kantong dan mulut rakus yang tak ada batasnya! Kehadiran mereka bangsa manusia itu di bumi hanyalah untuk memperbudak kita, memeras kita, menggebuki kita, dan mencuri hasil jerih payah kita!”.

Pidato dari Si babi Major begitu menggema di peternakan itu sehingga para binatang ikut terhanyut dalam semangat pemberontakan yang si babi major katakan. Kemerdekaan bagi para binatang akan segera tiba dan revolusi harus terjadi entah cepat atau lambat. Dalam pidatonya ia juga memperkenalkan lagu ciptaannya berjudul “BINATANG-BINATANG INGGRIS”, lagu ini mewakilkan semangat pemberontakan bagi para binatang.

Tak lama setelah pidatonya, selang 3 bulan si major tua mati. Dua babi muda, kader teladan si babi Major yaitu, Snowball dan Napoleon mengembangkan ajaran si babi major menjadi sistem pikiran atau paham yang komplit bernama Binatangisme. Mereka mengkoordinir para binatang dan mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia untuk merencanakan strategi pemberontakan. Hingga pada saat kesempatan itu tiba. Para binatang bersatu untuk memberontak. Mereka mengusir Tuan Jones pemilik peternakan manor. Setelah berhasilnya pemberontakan yang dilakukan, mereka mengganti peternakan manor menjadi peternakan “BINATANG”.

Dipimpin Snowball dan Napoleon, para binatang menyepakati landasan dasar peternakan Binatang yang harus di patuhi, yang terkandung dalam “Tujuh Pedoman Utama”. Landasan dasar tersebut dirangkum oleh babi Snowball menjadi “EMPAT KAKI BAGUS, DUA KAKI BURUK”. Namun, pernyataan tersebut diprotes oleh para unggas, tetapi si babi Snowball dengan cerdas menjelaskan bahwa sayap itu sebagai alat penggerak maka termasuk kaki, berbeda seperti manusia yang digunakan sebagai alat manipulasi.

Mereka berdua mulai mengatur peternakan Binatang. Dilakukan pembagian tugas serta pekerjaan di antara para binatang. Mereka semua bekerja keras demi kesejahteraan bersama. Babi Snowball lalu mengembangkan kurikulum dan membentuk panitia-panitia untuk mengajarkan para binatang menulis dan membaca. Sedangkan babi Napoleon membentuk panitia untuk mengawasi sekaligus mengatur pekerjaan dan pemberian jatah makan bagi para binatang.

Dengan kurikulumnya Snowball, para binatang mulai dapat membaca huruf-huruf. Dan setelah keberhasilannya itu, si babi Snowball mulai membuat proyek kincir angin agar dapat digunakan mengaliri peternakan dan membuat listrik untuk menerangi peternakan. Melihat keberhasilan babi Snowball, si babi Napoleon merasa tersisihkan. Sehinggan terjadilah perselisihan di antara mereka. Perebutan puncak kepemimpinan terjadi, si babi Snowball kalah dan terusir dari peternakan setelah di buru oleh anjing-anjing pengikut si babi Napoleon.

Kehidupan peternakan berlanjut dengan babi Napoleon sebagai pemimpin tunggal. Ia lalu melanjutkan proyek kincir angin babi Snowball yang dulu ia tidak setujui. Ia mengerahkan semua binatang untuk bekerja lebih keras membangun kincir angin tersebut. Jam bekerja ditambah untuk mempercepat proyek, yang berimbas pada penurunan hasil panen gandum dan rumput, lalu jatah makan para binatang dikurangi. Dan payahnya, setelah proyek kincir angin selesai, benda tersebut tidak dapat berfungsi sebab si babi Napoleon tidak memahami betul teknik atau teori yang telah babi Snowball tulis.

Dengan kerja keras yang para binatang lakukan tersebut, mereka merasa impian untuk kemerdekaan para binatang tetaplah semu, karena justru para binatang mengalami eksploitasi oleh pemimpin mereka sendiri yang juga adalah sesama binatang. Lalu, si babi Napoleon membuat kebijakan kembali dengan melarang semua binatang agar tidak lagi menyanyikan lagu Binatang-binatang Inggris dengan dalih bahwa pemberontakan telah selesai dan para binatang telah merdeka. Jika didapati ada yang masih menyanyikan, maka di hukum mati.

Dengan segala keresahan yang dirasakan para binatang, mereka akhirnya mencoba mengingat kembali masa-masa setelah pemberontakan. Mengingat kembali huruf-huruf dan mulai membaca landasan dasar “Tujuh Pedoman Utama” yang telah disepakati dan ditulis pada dinding, para binatang mendapati bahwa tulisan pedoman landasan dasar tersebut telah berubah menjadi pedoman tunggal yang berbunyi “Semua Binatang Sama Derajatnya Tapi Ada Binatang Yang Lebih Tinggi Derajatnya Dibanding Yang Lain”.

Pada akhir cerita, para binatang mengintip pemimpin dan para babi yang sedang makan malam bersama para manusia. Mereka berjalan dengan menggunakan dua kaki dan minum bir. Lalu para binatang juga mendengar pemimpin mereka dan para manusia saling bertengkar ketika bermain kartu hingga para bintang tidak dapat lagi membedakan, siapa di antara mereka yang manusia dan siapa di antara mereka yang binatang.

Membaca novel Binatangisme sepertinya sangatlah relevan jika dianalogikan dengan kondisi negara kita saat ini. Memang, kita telah berhasil melakukan pemberontakan terhadap rezim diktator pada 22 tahun yang lalu, tapi apakah sekarang kita telah berdaulat dari segala tindak eksploitasi yang tak terasa telah dilakukan oleh negara? Dengan dalih menyejahterakan rakyat, negara membuat kebijakan-kebijakan yang nyeleneh. Yang pada akhirnya malah membebani rakyat dan hanya menguntungkan investor dan lingkaran kapitalisme. Sehingga wajar, jika sulit bagi rakyat untuk membedakan antara pejabat dan pengusaha.

Jika kita membaca bab para binatang yang membangun kincir angin, mengingatkan akan negara kita yang notabene sebagai negara agraris. Tetapi ironis ketika melihat para petani yang harus membayar tuan tanah untuk menggarap sawah. Di negara agraris sawahnya dicor, sehingga tanah air tidak lagi subur, airnya jadi banjir tanahnya longsor. Negara sepertinya sibuk membangun lupa menanam. Bandara, tol, perumahan, rumah susun, rumah khusus semua terbangun, tapi lumbung padinya tidak tertimbun. Bukankah semua infrastruktur tersebut tidak berfungsi bagi rakyat kecil, sebab mereka tidak dapat merasakan nilai kemaslahatannya?

Dan jika kita membaca bab proyek kurikulum babi Snowball yang mandek, lalu diteruskan dengan proyek pembangunan kincir angin. Kita dapatlah berkaca bahwa membangun pendidikan dahulu lebih penting daripada membangun infrastrukturnya, karena negara kekurangan ahli kelebihan tukang. Dan dari bab ini juga dapat diambil kesimpulan, bahwa rakyat yang kurang akan pendidikan, maka dapat dengan mudah dibodohi pemimpinnya. “Negara sibuk membangun kota, tapi lupa membangun manusianya.”

 

Resensi oleh: Muhammad Afifuddin Muslikh

Editor: Rizal Kurniawan

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top