Elaborasi dan Memaknai Adagium “Berdiri Bersama Korban”
Masih ingat acara peringatan Hari Lahir Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang ke-63 di Solo kemarin? Apa yang membekas di ingatan sahabat sekalian? Merindingkah ketika menyanyikan mars PMII bersama ribuan kader di seluruh negeri? Atau ingatan tentang berjoget ria bersama Denny Caknan? Atau yang lainnya?
Tulisan ini seolah tidak punya ide lain selain membukanya dengan beragam pertanyaan. Semoga tidak tertebak isinya. Bukan berisi catatan perjalanan untuk bernostalgia dengan euforia yang tersisa, melainkan tulisan ini akan berisi kegeraman dan kemarahan terhadap kabar yang tersiar pasca peringatan Harlah PMII yang ke-63 di Solo itu.
Pasca pelaksanaan puncak peringatan Harlah PMII yang ke-63 kemarin, tidakkah sahabat mendengar bahwa sedang santer tersiar kabar pelecehan seksual. Parahnya, hal itu dilakukan oleh seorang Pengurus Besar PMII kepada salah satu kadernya. Pemberitaannya tidak viral. Tapi seharusnya cukup menjadi alarm untuk dikawal agar dapat diusut sampai tuntas. Dan seharusnya kader-kader organisasinya sendiri yang melayangkan kritikan tajam agar hal itu dapat diselesaikan.
Saya butuh beberapa poin penting untuk menjelaskan isu tersebut. Tidak perlu diamini. Memang tidak banyak yang diharapkan dari dunia yang maskulin di sejuta sisi ini.
Semua Pengalaman Korban Pelecehan Seksual Itu Valid
Sejak kabar pelecehan seksual ini santer diberitakan oleh instagram @koprigarislucu kemudian bermunculan berbagai pendapat. Mulai dari pro hingga kontra. Hal pertama yang kemudian dinyatakan oleh khalayak adalah “Jangan-jangan berita ini bohong” atau ada juga yang kemudian berpendapat “jangan diunggah dulu, deh. Takut ga bener beritanya”. Hal itu tentunya dinyatakan oleh kader PMII sendiri.
Dari uraian tersebut, beberapa memang sudah tidak mencerminkan bahwa sesama kader PMII juga tidak menjamin memiliki perspektif responsif gender. Atau memang sebenarnya tidak usah jauh-jauh berbicara organisasi yang inklusi atau responsif gender. Paling tidak ketika muncul kabar seperti ini kita harus bisa punya sikap “berdiri bersama korban”.
Agaknya saya juga paham, sesama kader PMII juga merasa khawatir terhadap marwah organisasinya sendiri. Tapi apalah itu marwah organisasi jikalau kejahatan saja dipupuk sejak dalam internal.
Sebagai kader PMII, seharusnya memang tidak lagi bisa didikte bagaimana kerja-kerja advokasi dapat dilakukan dengan sempurna. Saya anggap semua kader PMII punya nilai-nilai tersebut. Jadi, perspektif “berdiri bersama korban” sebenarnya bisa dengan mudah dilakukan.
Ketika kita mengetahui terjadi pelecehan seksual terhadap seseorang, paling tidak langkah pertama yang harus dilakukan adalah percaya bahwa hal tersebut benar adanya. Langkah berikutnya barulah kemudian dapat dilihat lebih jauh dengan melakukan penanganan perspektif kepentingan korban. Hal ini tentu bisa dilakukan dengan tindak lanjut yang investigatif.
Menurut saya, telaah lebih jauh ini sebenarnya bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan kejadian tersebut. Misal, penentuan sikap PB PMII atau pernyataan sikap untuk kemudian menelaahnya lebih lanjut. Namun, sampai tulisan ini dipublikasikan sepertinya memang belum ada pernyataan sikap dari PB sendiri. Atau barangkali berita-berita seperti ini hanya akan bernasib malang dan hanya cukup menguap sebagai angin lalu saja.
Menyoal pernyataan sikap, seharusnya ini dapat dianggap penting. Ia tentu akan menerangi 2 hal yang masih temaram menjadi jernih yang sesungguhnya. Pertama, jika kasus ini tidak benar barangkali sahabat-sahabati bisa bersiap diri bahwa ancaman terhadap organisasi pergerakan ini semakin nyata adanya. Bisa jadi hal tersebut menjadi umpan dan ajang adu domba atau bahkan titik awal penghancuran yang bernada sentimen. Kedua, jika kasus ini benar adanya maka pengurus PB harusnya dapat dengan mudah menuntaskannya, baik itu dengan melakukan pendampingan korban atau memberi tindakan tegas terhadap pelaku agar hal yang demikian tidak menjamur sampai ke tingkat struktural yang berada di bawahnya. Mengingat PB merupakan tingkatan struktural yang paling tinggi.
Inilah mengapa konsep “berdiri bersama korban” itu harus diamini sedemikian rupa. Jika kita menggunakan perspektif tersebut untuk menelaah kasus ini maka akan ada rasa yang menggugah hati untuk mencari kebenarannya. Jadi, tampaknya harus diluruskan juga pemikirannya bahwa “berdiri bersama korban” bukan lantas kita langsung meyakini bahwa itu benar. Masih ada opsi lain untuk mencari titik terangnya dengan berupa tindakan lebih lanjut.
Lingkaran Setan Kekerasan Struktural
Menurut Johan Galtung (dalam Eriyanti, 2017) setidaknya terdapat tiga konsep kekerasan yang diwujudkan melalui teori segitiga kekerasan. Ketiganya berupa kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural.
Jika kita menggunakan teori tersebut untuk menelaah kasus ini adalah bahwa kekerasan struktural dapat menjadi awal mulanya. Kekerasan struktural merupakan kekerasan yang dilakukan oleh individu akan tetapi tersembunyi dalam struktural yang lebih kecil atupun lebih luas. Dan relasi kuasa bekerja dengan sempurna terhadap kejadian kasus pelecehan seksual ini. Jika dilihat secara struktural korban merupakan salah satu pengurus di PKC Riau sedangkan pelaku merupakan salah satu Pengurus Besar PMII yang tatarannya berada satu tingkat di atasnya dan merupakan struktur kepengurusan tertinggi PMII.
Ketika terjadi kekerasan seksual, hal demikian memang sering terjadi. Relasi kuasa seorang pelaku seolah menjadi momok dan umpan yang jelas. Persepsi bahwa korban adalah seseorang yang lemah dan secara struktural berada di bawahnya juga bisa menjadi akar bagaimana kasus pelecehan itu terjadi.
NDP-nya Mana?
Nilai Dasar Pergerakan atau yang disingkat NDP merupakan suatu hal yang sangat fundamental dan harus terpatri pada setiap diri PMII. Sebagaimana yang telah kita ketahui, 3 nilai NDP ini bahkan diajarkan sejak dini kepada setiap kadernya. Tiga nilai NDP yang menjadi kerangka acuan pergerakan ini, hablumminallah, habluminannas, dan hablum minal ‘alam.
Saya ingin mengajak sahabat-sahabat merefleksikan nilai NDP yang kedua, yaitu habluminannas dalam melihat kasus ini. Organisasi pergerakan ini telah mengatur sedemikian rupa sejak zaman dahulu. Melalui nilai-nilai yang diajarkan secara turun-temurun oleh pendahulu PMII itu sendiri. Padahal, kita sebagai kader penerus tidak perlu repot-repot merumuskan hanya saja perlu mengamalkan. Dan itulah susahnya.
Pelaku pelecehan seksual yang merupakan kader PMII agaknya memang luput dari konsep-konsep NDP-nya sendiri. Atau kader yang demikian ini bisa saja tidur nyenyak saat pemberian materi pada Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA).
Di sisi lain, kasus-kasus yang demikian nyatanya tidak bisa diusut tuntas, setidaknya Pengurus Besar PMII dan KOPRI PMII perlu punya strategi terbarukan dalam advokasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Saya ingin mengamini strategi advokasi yang diutarakan oleh seorang akademisi perempuan Universitas Indonesia, Ikhaputri Widiantini. Saat ditanya menyoal strategi advokasi penanganan dan pencegahan kekerasan seksual pada acara podcast Jurnal Perempuan beberapa waktu lalu, Ia mengutarakan setidaknya ada 3 strategi penting. Menurutnya, 3 strategi tersebut berupa pendengaran, investigasi, dan penanganan. Bagi saya, saat ini pengurus pusat masih jauh tertinggal bahkan untuk menerapkan tiga konsep advokasi penanganan kekerasan seksual tersebut.
penulis: Fatmawati
Ini manusia yang hanya bahagia dengan berpikir sebanyak-banyaknya.