Genealogi Sederhana Sebuah Tulisan
Aku hanya seorang huruf, cukup kenali aku dari tulisanku saja.
Perjalananku dari seorang huruf.
Benarkah jika tidak banyak yang bisa dibanggakan dari seorang huruf? hanya bisa dibaca a i u e, atau o saja kok. Aku tidak bertanya pada kalian, aku bertanya pada diriku sendiri. Namun jika itu benar, mengapa banyak sekali ‘mereka’ yang senang bermain-main dengannya?. Aku pun iya.
Detik, menit, jam, dan hari-hariku selalu tidak jauh dari kehidupan huruf. Pun dalam keadaan senang, sedih, menangis, atau tertawa. Torehan pena di atas secarik kertas kusut itu berisikan rangkaian huruf yang berjejer rapi. Tulisan itu, setiap aku baca kembali rasanya ingin menertawakan diri sendiri, sambil berceletuk “tulisan apa ini”. Itulah aku, dulu. Berkenalan dengan dunia tulis sedari masih kecil, malah belum tahu menulis itu pekerjaan apa. Kemudian lambat laun aku mulai sedikit mengerti jika menulis itu “menuangkan unek-unek sambil ditulis”, begitu kata guruku waktu aku masih TK.
Jika diangan-angan ya masuk akal juga, memang benar adanya jika menulis sebagai sarana untuk mewakilkan perasaan seseorang, entah itu tragedi ataupun komedi. Mungkin sebagian besar orang memang seperti itu, mengawali menulis dengan bercerita “ini loh aku”. Tak dapat menyangkal juga, masa-masa sekolah silam menulis dalam buku harian adalah sesuatu yang sedang nge-trend. Bahkan aku sendiri mengalami itu, di mana tas sekolah diisi dengan diary book buat dipamerkan bukunya saat dikelas, bukan tulisannya.
Pernah melintas dalam pikiranku juga, apa iya menulis dapat membuat seseorang kaya?. Mungkin pertanyaan itu muncul karena banyak aku tahu penulis-penulis tulen yang telah sukses dibidangnya. Jika ditinjau lebih jernih, memang benar kok, menulis bisa membuat orang kaya, kaya pengetahuan, kaya informasi, kaya pengalaman dan kaya gagasan. Ya, meskipun definisi kaya masih dikaitkan dengan ‘uang’. Penulis-penulis terdahulu juga pernah mengatakan “jika kamu membaca akan mengenal dunia, jika kamu menulis akan dikenal dunia”.
Kemudian pada akhirnya semangat menulis dalam diriku semakin meronta, apalagi setelah membaca pesan dari salah seorang penulis tulen, Pramoedya Ananta Toer, kalau “menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Hingga pada suatu masa aku selalu membuat target menulis dan rutin mengikuti even, mulai dari cerpen atau puisi. Tak sampai disitu saja, pengalaman menulisku masih tergolong minim dan masih ‘tak layak untuk dibaca publik’. Dengan itu, mulailah mencari kiat menulis yang baik dan mencoba menekuninya semaksimal mungkin.
Sampai di sini mulai muncul perasaan bosan, hingga pada keinginan menulis mulai hilang, apalagi ditambah beban persiapan masuk perguruan tinggi yang semakin sengit. Dan realitanya adalah aku benar-benar lepas dari targetku sendiri. Rasa bosan yang semakin bertambah membuatku lupa bahwa aku pernah ingin menjadi seorang penulis. Kemudian perjalananku sampai disaat aku sudah berstatus mahasiswa.
Tuntutan untuk aktif membaca dan menulis membuatku sontak tersadar kembali, kembali mencari nyawa dari diri penulis. Lambat laun pun hasrat untuk menulis mulai terkumpul, apalagi diiming-iming yang namanya ‘kompensasi’. Katanya sih, menulis juga terkadang menjadi pekerjaan materialistik. Bagaimana tidak, kan semua kembali pada ‘time is money’, dan apapun itu pasti membutuhkan uang.
Dan realitanya semua itu benar, aku sudah merasakannya. Hanya saja, bagiku uang itu nomor dua, yang pertama adalah pengalaman. Karena pengalaman mustahil untuk dibeli. Hingga pada suatu saat aku berceletuk sendiri, ‘apa bisa ya dengan menulis aku bisa pergi ke mana-mana?’ Awalnya aku kira mustahil. Kemudian tak berselang lama, one of my dreams itu terwujud. Kata ibu, ‘ya mungkin celetukanmu waktu itu menjadi doa, dan kebetulan dikabulkan Allah dalam waktu dekat’. Aku pun tertawa. And finally, aku berkesempatan menginjakkan kaki di salah satu tempat terindah di negeri ini, gratis pula.
Dari itu, jiwa materialistik untuk menulis semakin bertambah, dan semoga dapat mendapatkan kebahagiaan-kebahagiaan selanjutnya. Ya, meskipun rasa pesimis mengenai tulisan sendiri masih berkecamuk. Dengan rasa yang sama pula, kemudian aku mulai mengerti dan berasumsi bahwa menulis tidak harus tentang permasalahan yang global, dan tulisan kita tidak harus dibaca oleh orang banyak. Tetapi, menulis bisa dimulai tentang sesuatu yang dekat dengan kita dan dapat dibaca oleh diri kita sendiri, ya syukur-syukur kalo teman kita ada yang mau baca. Sekian dari aku, sang huruf. Terima kasih sudah menyapaku.
penulis: Rismayanti Khomairoh
Ilustrasi: Fatma