Now Reading
Hari Lahir PMII dan Apa Saja yang Sesungguhnya Bisa Menjadi Refleksi?

Hari Lahir PMII dan Apa Saja yang Sesungguhnya Bisa Menjadi Refleksi?

Momentum Hari Lahir PMII yang ke-65 tahun membuat saya bergegas mengambil laptop dan segera menuliskan apa saja yang ada di kepala. Saya juga agak kebingungan, entah dorongan apa yang menjadikan saya sangat bersemangat untuk menuliskannya. Anggap saja, ini adalah curhatan dari seorang bocah ingusan yang sedang bertungkus lumus dalam sebuah struktural kaderisasi paling bawah bernama rayon.

Seyogyanya hari lahir, kita tentu sudah tidak asing dengan harapan, doa, dan waktu yang paling tepat untuk sekadar berefleksi. Tentu banyak sekali yang sudah terjadi. Di umurnya kini, PMII bukan lagi organisasi yang belia. Bisa dikatakan telah menempuh jalan panjang, menghadapi segala bentuk dinamika zaman, dan tumbuh menjadi sebuah kolektif masyarakat yang didalamnya terdiri dari mahasiswa, yang senantiasa dituntut untuk kritis dan progresif menyikapi realitas yang ada.

Justru diumur yang tidak belia inilah, pelbagai pertanyaan mulai menggema di kepala saya yang kemudian mengawali refleksi itu. Bagaimana wajah kaderisasi kita hari ini? Apakah benar-benar mampu menciptakan ruang yang aman dan lentur untuk seluruh kader bertumbuh, menyuarakan isi kepala, dan menjalani proses transformasi diri secara utuh? Dan pertanyaan paling penting adalah apakah organisasi kita hari ini sudah cukup inklusif dan bisa membumi untuk segala isu tanpa memberi banyak sekat?

Saya tidak punya jawaban pasti. Tapi, dari sudut kecil bernama rayon, saya merasakan denyut itu ada.

Saya ingat betul ketika pertama kali menjabat sebagai ketua rayon. Menjadi perempuan dalam posisi ini bukan hanya tentang mengurus administrasi, memimpin rapat rutin, memimpin dengan segala kelembutan dan penuh perasaan serta segudang stigma lain yang selalu dilekatkan, khas maskulinitas rapuh. Ada beban kultural yang kadang tak terlihat, tapi terasa. Mulai dari cara orang memandang, mendengar, sampai cara mereka merespons keputusan. Tapi justru dari sinilah saya banyak belajar bahwa kepemimpinan perempuan bukan hanya mungkin, tapi penting.

Penting karena dari situlah menyisipkan isu-isu keperempuanan bukan hanya sebagai isu sampingan atau kerja milik badan otonom Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Putri (KORPRI). Tapi justru isu itu sebagai bagian dari arus utama narasi kaderisasi yang dibangun. Dan ternyata, itu bisa dilakukan. Tentu tidak mudah, tapi bisa.

Dari itu semua tentu ada hal yang patut saya syukuri. Bahwa kesempatan ‘menjadi pemimpin perempuan’ masih diperkenankan untuk dijalankan di lembaga ini, khususnya di Rayon PMII FIB. Di tengah isu-isu yang beredar bahwa ada beberapa lembaga setingkat yang masih sangsi terhadap kapasitas kepemimpinan perempuan–atau bahkan ada yang secara terang-terangan menolak lembaganya dipimpin oleh perempuan. Sependek pengalaman saya, isu kepemimpinan perempuan yang seperti ini sebetulnya memang tidak hanya terjadi di PMII bahkan di beberapa lembaga lain dibawah naungan kampus.

Hal yang patut disyukuri nomor dua adalah bahwa struktural kaderisasi paling bawah ini enggan memberi banyak sekat, lantas memilah dan memilih isu mana yang layak diperjuangkan, dan isu mana yang hanya pantas jadi pelengkap program kerja. Rayon PMII Fakultas Ilmu Budaya, setidaknya dalam pengalaman saya, tidak pernah membatasi ruang gerak narasi. Isu perempuan, isu lingkungan, isu kebudayaan—semuanya punya tempat, punya ruang, punya daya hidup di dalamnya, dan yang paling penting semua diberikan akses yang sama. Baik itu laki-laki atau perempuan. Jadi, tidak ada sekat yang kemudian melahirkan pernyataan “itu kan isu perempuan, yaudah dikerjakan kaum perempuan aja.” 

Pada dasarnya, saya memang tidak punya jaminan bahwa hal serupa ini terjadi pada lembaga setingkat di atasnya. Mungkin itu akan berbeda cerita. Mungkin saya setuju kalau Rayon sebagai tingkatan struktural paling bawah adalah kawah candradimuka dan proses paling murni jika dibandingkan dengan struktural-struktural di atasnya.

See Also

Saya ambil contoh sedikit berdasarkan hasil pengamatan yang terjadi di Kepengurusan Cabang PMII Jember. Ada beberapa hal yang cukup menggelitik pada beberapa acara yang diselenggarakannya. Bisa dilihat bahwa hampir semua acara yang diselenggarakan oleh pengurus cabang tidak ada satupun muncul wajah perempuan sebagai pemateri. Kiranya bisa dicek di akun resmi instagram agar lebih afdol untuk keabsahan sebuah faktanya.

Sebetulnya, saya bukan sedang bicara soal representasi simbolik atau tuntutan angka-angka keterwakilan. Tapi ini menyoal akses, pengakuan, dan kepercayaan terhadap kapasitas intelektual kader perempuan. Tentu, kita semua tidak ingin seolah-olah hanya laki-laki yang layak bicara soal isu strategis seperti tambang, agraria, tata ruang dan tata wilayah, dan segala tetek bengeknya. Atau kita juga tidak ingin seolah-olah kontribusi perempuan hanya cukup sampai di urusan-urusan domestik kelembagaan, seperti menata acara, mengelola administrasi, atau mengurus konsumsi.

Terakhir, terlepas dari berbagai persoalan yang ada, kita tetap patut berbangga karena masih terus merawat idealisme dan menjadi bagian kecil yang tak lelah bergerak bersama PMII hingga hari ini. Semoga setiap langkah yang kita tempuh senantiasa mendapat ridha dari para muassis dan kyai. Beliau-beliau yang dengan niat luhur telah melahirkan PMII sebagai ruang perjuangan dan pengabdian.

Saya percaya, jalan ini tidak pernah mudah. Berproses, berpikir, dan bertahan dalam arus zaman membutuhkan keteguhan. Sebagaimana yang ditulis oleh penulis favorit saya, Okky Madasari, dalam novelnya Pasung Jiwa “melawan sesuatu yang ada dalam pikiran jauh lebih sulit daripada melawan musuh dalam kenyataan.” Semoga kita tak pernah lelah, tak pernah gentar, dan terus berjalan. Selamat Hari Lahir PMII ke-65 tahun. Mari terus berbenah dan hidup bersama perjuangan ini.

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top