Now Reading
“Hari Lahir PMII ke-62: Apa yang Seharusnya Kita Rayakan?”

“Hari Lahir PMII ke-62: Apa yang Seharusnya Kita Rayakan?”

Sebagai salah satu sumber daya manusia organisasi yang berproses di tataran paling bawah dari sebuah proses struktural kaderisasi, tentu kita patut bingung sekaligus mempertanyakan bagaimana menjadi satu kader yang “ideal” atau dalam bahasa yang lebih heroik; menjadi kader yang “dicita-citakan”. Di momentum Hari Lahir PMII yang ke-62 ini, saya sebenarnya cuma ingin sedikit curhat. Ya itung-itung menghidupkan kembali tradisi menulis.

PMII yang mulai dulu—bahkan sampai sekarang—notabene diakrabi sebagai satu kelompok sosial yang meletakkan basis kekuatannya pada persoalan politik dan kemasyarakatan, secara sadar ataupun tidak sadar, pada akhirnya melahirkan sebuah trand, utamanya dalam corak pemikiran para anggota-anggotanya. Sebuah trand akan menjadi bagus ketika hal tersebut dimaksudkan sebagai jangkar dari satu orientasi organisasi yang lebih dinamis atau juga menjadi satu ikhtiar plural yang menyediakan tempat bersuara dari apa yang sering kita sebut sebagai “keberagaman”. Namun, trand tersebut juga berpotensi memiliki konotasi dengan suara cemar ketika dianggap sebagai satu keyakinan general yang harus diamini dan ditempuh semua orang.

Saya ambilkan contoh sedikit saja dari apa yang sering saya amati dan perhatikan. Meskipun lingkup persoalanya kecil, tapi saya rasa tak ada salahnya, wong namanya curhat, jadi ya sah-sah saja. Beberapa sahabat kita dari Fakultas Ilmu Budaya, termasuk saya, sering kesusahan mengikuti obrolan jangka panjang dan mendalam terkait politik kampus dan kebijakan publik. Kami sering tidak utuh dan sering juga tidak tuntas memahami bagaimana sebuah siasat dan framing politik cerdas dibangun serta dijalankan. Kami juga kerap gagap mencermati bagaimana sebuah kebijakan lahir dan dikawal. Jangankan itu, bahkan kami juga acapkali terlambat mengetahui isu-isu terbaru pemerintahan. Untung ada sosmed, kalau tidak ada, mungkin saya juga tidak akan tahu bahwa RUU TPKS sudah diketuk. Mau diakui atau tidak, kami sering tertinggal dalam hal-hal tersebut. Sudah ngelu belajar soal filsafat budaya dan teori-teori kebudayaan, ditambah harus ngerti manajemen aksi.  Itu baru dari Fakultas Ilmu Budaya, belum lagi bicara fakultas yang lain. Pertanian misalnya, sudah puyeng dikejar deadline praktikum, sek disuruh baca Kaum Tani Mengganyang Setan-Setan Desa-nya Aidit. Atau juga sahabat-sahabat kita di Fakultas Teknik, sudah lelah bikin robot atau mesin-mesin inovatif terbaru, sek dituntut faham Raperda RTRW. Yo ra mampu masseh…. (Tapi yo kok panggah dilayani).

Lalu apa konklusi yang bisa kita ambil? Bahwa kita sering luput, mengapa kita tidak terlebih dahulu mendalami basis keilmuan fakultatif kita, sebelum belajar ilmu lintas disiplin? Mengapa kita justru terhantui oleh keyakinan-keyakinan bahwa kader PMII harus baca ini dan itu, kader PMII harus faham ini dan itu, atau yang sering sekali saya dengar, kader PMII harus bisa dan ikut demo. Ini yang saya maksud, sebuah trand yang kemudian tidak memberi tempat terhadap suara-suara minor. Sebuah trand yang destruktif. Di tengah kehidupan yang serba tak linier, menurut saya, penguatan kapasitas pengetahuan atau studi yang kita tempuh, rasa-rasanya menjadi satu PR besar yang kudu ditanamkan. Mengapa kita muluk-muluk dan nggethu belajar hal yang sebenarnya sulit kita jangkau, sementara ilmu-ilmu di depan mata kita yang sehari-hari kita kunyah tidak terserap dengan baik dan maksimal?

Tapi kembali lagi, contoh-contoh tersebut hanya sebagai satu persoalan mendasar. Semuanya kembali pada anggapan dan kemampuan masing-masing personal. Yang perlu dipertegas, saya tidak mempunyai maksud saling menafikan satu dengan yang lain. Saya tidak sedang bermaksud bahwa ilmu dan pengetahuan di luar fakultatif tidak perlu dipelajari. Saya juga tidak bermaksud mengatakan bahwa aksi demontrasi tidak lagi keren. Tapi alangkah baiknya—jika saran ini dianggap sebagai kebaikan—, misal kita anak FIB, belajar nulis terlebih dahulu. Saya menyadari betul bahwa kita gak punya kekuatan apa-apa selain bisa nulis. Tapi di luar dari contoh di atas, toh banyak juga kader di luar FIB yang justru secara tulisan lebih baik daripada kita. Sahabat-sahabat kita di Fakultas Keperawatan mungkin orasinya lebih menggelegar daripada sahabat-sahabat kita dari Fisip, misalnya. Nah, itulah keberagaman yang harus kita rawat.

Saya teringat sekali anekdot salah satu sahabat, yang tak perlu saya sebutkan namanya, kurang lebih begini “Di tengah banyaknya kader dan kuantitas PMII di berbagai daerah, sebenarnya hari ini PMII tidak membutuhkan kader lagi, sebab kita akan bingung mau diapakan dan dikemanakan anak-anak orang itu, kita juga harus merasa bersalah apabila proses salah satu kader tersebut tidak berjalan secara optimal”. Saya menyimpulkan bahwa ungkapan tersebut lebih cocok diistilahkan sebagai sarkasme, alih-alih bergurau. Setiap tahun, secara bersemangat dan menggebu-gebu kita membuka masa penerimaan anggota baru yang kita kenal sebagai momen MAPABA, berjalan beberapa bulan, dari anggota-anggota yang sudah terjaring, mungkin hanya angka 30% saja yang berminat (baca: memiliki akses) untuk mengikuti Pelatihan Kader Dasar, lalu berjalan beberapa bulan lagi, dari 30% satu angkatan PKD tersebut, mungkin tak lebih hanya 5% yang melanjutkan ke jenjang Pelatihan Kader Lanjut atau Pelatihan Kader Nasional. Apa artinya? Ada keganjilan dan ketimpangan sebuah proses belajar. Kemungkinanya ada dua, antara ketidaksiapan sistemik organisasi, atau kita yang gagal menumbuhkan ghiroh belajar mandiri sesuai passion yang saya sebut sebagai basis keilmuan fakultatif tadi. Nah, ini intinya.

Terlepas dari persoalan tersebut, dalam rangka mengingat kiprah para pendahahulu, saya sangat bangga sekaligus berbahagia menjadi bagian kecil dari embrio perjuangan PMII, menjadi bagian dari kelompok intelektual ulul albab yang insyallah senantiasa didoakan dan diridhoi para muassis dan kyai.  Menjadi bagian dari pemuda-pemuda yang masih idealis. Sebab bagi saya, PMII bukan hanya menjadi tempat berproses, belajar dan mengembangkan diri. Ia menjadi seperangkat nilai yang terus dibawa sampai kapanpun, baik secara liris maupun terang-terangan. Ia menjadi semacam prinsip yang harus dipatri dalam benak masing-masing kita sebagaimana kredo Mahbub,  “bahwa hak asasi sama halnya dengan sepiring nasi”. Ia menjadi visi besar yang membentuk kerangka berfikir dan bertingkah laku di masyarakat, kini dan nanti. Selamat Hari Lahir Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang ke-62. Selamat merayakan satu kebesaran dan kemenangan ini, Sahabat-Sahabatku. Mari berbenah, mari bermuhasabah.

 

See Also

Jember, 17 April 2022

Penulis: Rizal Kurniawan

Editor: Rizqi Hasan

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top