Khusyuk: Mindfulness Versi Islam

Suka dan memang sering kesepian
Kesadaran akan pentingnya psikologi semakin meningkat akhir-akhir ini. Hal ini tak lain disebabkan semakin mudahnya akses untuk menikmati edukasi tentang hal tersebut. Namun, bukan hanya itu sebenarnya. Yang menjadi penyebab utama sebenarnya ialah kondisi yang dirasakan masing-masing orang. Kebanjiran informasi, multitasking kehidupan (maya dan nyata), ditambah pandemi dan lainnya membuat banyak orang merasa stres, burnout, brain fogging, dan masalah psikologis lainnya. Kondisi yang seperti ini memicu banyak orang ingin menemukan cara bagaimana mengatasi masalah tersebut. Nah, di sinilah internet terlihat sangat membantu. Banyaknya kata kunci pencarian tentang hal tersebut juga membuat para content creator berlomba-lomba memproduksi konten-konten psikologi. Jadi, bukan hanya forum TED saja yang sering membicarakan masalah-masalah faktual dan ilmiah seperti ini. Namun, semua orang sekarang bisa, karena kemudahan akses sumber seperti jurnal dan lainnya. Dengan metode penyampaian masing-masing tentunya.
Salah satu metode yang booming adalah mindfulness. Mengutip Mace dalam (Mace, 2008), Mindfulness menekankan pada kesadaran, menjadi sadar sepenuhnya pada hal yang terjadi saat ini dengan mengalihkan pengalaman yang lain, diterima sepenuhnya tanpa penilaian. Ya, kondisi dengan kesadaran penuh, pada—digarisbawahi lagi—saat ini. Itu berarti, fokus pada apa yang terjadi saat ini, tanpa memikirkan dan khawatir dengan besok, masa depan, apalagi menggalaui masa lalu. Itulah mengapa banyak yang menyebut praktek mindfulness ini dengan istilah keren: “living in the moment”. Saya mengetahui praktek ini semenjak menonton salah satu pembicara di forum TED Talks sekitar dua tahun lalu. Lalu, yang biasa saya lakukan adalah memejamkan mata, dan berfokus pada pernapasan saya, tanpa memikirkan apapun, hanya fokus pada pernapasan. Mengutip Nandi dalam Gramedia.com, Mindfulness memiliki beberapa manfaat, di antaranya ialah meningkatkan kesadaran metakognitif (wah, apa tuh?), mengatasi kesehatan mental, mengendalikan emosi, menjaga kesehatan jantung, dan memperkuat sistem imun tubuh.
Baru-baru ini saya sadari bahwa Islam sesungguhnya telah memiliki konsep ini. Namanya adalah Khusyuk. Ya, sebuah keadaan yang bahkan diwajibkan beberapa ulama di dalam salat. Khusyuk, sering kita-salah-definisikan sebagai mengingat dosa-dosa, kesalahan, mengingat mati, dll. Definisi yang cenderung sulit dilakukan. Definisi dari Syekh Malibari berikut jauh lebih mudah (tetapi masih juga sulit dilakukan wkwkw). Mengutip Syekh Malibari dalam kitabnya, Fathul Muin, yang disebut khusyu’ adalah
“بان لا يحضر فيه غير ما هو فيه، وان تعلق بالآخرة”
Ya, dengan tidak menghadirkan sesuatu yang bukan bagian dari salat, walaupun berhubungan dengan akhirat. Dengan kata lain, khusyuk adalah fokus terhadap apa yang dilakukan saat itu (yang dalam hal ini adalah salat), seperti mindfulness. Bedanya, jika di dalam salat—masih mengutip Syekh Malibari dalam kitab yang sama—khusyu’ dilakukan dengan berfokus pada keadaan diri, juga pada bacaan salat yang dibaca (tadabbur). Misalnya ketika membaca alhamdulillahirobbil’alamin pikiran dan hati kita dipenuhi dengan rasa syukur, ketika membaca ihdinassirotholmustqim kita benar-benar memohon petunjuk kepada Tuhan, dan seterusnya. Jadi, menghayati bacaan dan maknanya, bukan memikirkan hal lain, walaupun itu berhubungan dengan akhirat seperti menyesali dosa dan ingat mati. Syekh Malibari juga memberikan tips agar bisa khusyu’, di antaranya adalah mengondisikan diri bahwa saat ini kita sedang menghadap Tuhan, men-tadabbur-i bacaan salat dan zikir; kemudian memandang tempat sujud.
Jika sudah mengetahui demikian, kita akan sadar bahwa sebenarnya Islam—sekali lagi—memiliki segala solusi di semua permasalahan dan di segala zaman. Ini hanya salah satu. Lalu, jika sudah mengetahui demikian juga, keimanan kita terhadap firman Tuhan dalam Surat Al-Ankabut ayat 45 yang mengatakan salat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, akan semakin bertambah. Dengan khusyuk dalam salat, kita tak perlu lagi menyisihkan waktu untuk mempraktekkan mindfulness yang kata beberapa ahli minimal dilakukan sepuluh menit sehari. Sebab, kita sudah melaksanakan salat wajib lima kali sehari, ditambah salat sunnah (jika tidak aras-arasen :v).
Benar sekali lirik lagu Nasyida Ria yang belakangan viral untuk sound Instagram Reels: Hidupku senang, hati pun tenteram, karena sembahyang, tak pernah dilupakan. Dan saya jadi setuju kembali pada ucapan yang baru-baru ini ditentang oleh para fanatik psikologi: “jika kamu sering stres, itu tandanya ibadahmu kurang”. Ya, kurang maksimal lebih tepatnya. Memang, mungkin ibadah kita tanpa kekhusyukan, jadi tidak ada mindfulness-mindfulness-nya sama sekali. Padahal, Habib Zein bin Smith dalam kitabnya, Fawaidul Mukhtarah, pernah mengutip kaul Imam Ghazali yang mengibaratkan salat yang tidak khusyuk sebagai menghadiahi raja dengan budak yang mati. Sebab, gerakan kita dalam salat diibaratkan tubuh, dan khusyuk adalah nyawanya. Kalau salat tetapi tidak khusyuk saja pengandaiannya seperti itu, apalagi jika tidak salat sama sekali? Saya tidak tega menuliskannya.
Khusyuk, jika dipikirkan memang mudah. Namun, entah mengapa jika dipraktekkan begitu sulit. Tetapi yang jelas selalu ingat-ingat kaul Imam Ghazali yang satu ini—yang sangat menohok wkw—sebagai motivasi:
“Kegilaan yang paling gila adalah memikirkan hal lain saat mengerjakan sesuatu padahal masih bisa dipikirkan setelahnya” (Berarti, sudah berapa lama kita gila? Wkw)
Mari membudayakan mindfulness dengan memperbaiki salat melalui khusyuk saat mengerjakannya. Jika masih tidak tahu cara menghayati bacaan, cari terjemahannya! Baca tafsirnya! Kita kan masih punya mata dan otak untuk belajar heuheu. Lalu, ketika—jika Anda di fase life cuarter crisis—merasa overthinking soal masa depan, jangan post story whatsapp, tetapi mari salat atau apapun yang melibatkan kekhusyukan. Heuheu
Takbir, eh, Tabik! :v
Suka dan memang sering kesepian