Now Reading
Kompleksnya Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Kompleksnya Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Ilustrasi: Palari Films

Pukul delapan kurang sepuluh malam saya menggeber motor menuju bioskop. Lima belas menit lagi film akan diputar. Saya rela tergesa, menyempatkan waktu di sela kesibukan. Demi menonton film karya Edwin yang disadur dari novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan ini.

Film diputar. Petualangan Ajo Kawir—diperankan oleh Marthino Lio—dimulai. Banyak perkelahian dilakoninya. Ia tak terkalahkan. Ajo Kawir adalah jagoan kampung. Hobinya memang berkelahi, bukan untuk mencari uang seperti para brandal. Gelar ke-tak-terkalahkan-nya ini hampir saja hilang akibat perkelahian dengan Iteung—diperankan oleh Ladya Cheryl. Iteung berhasil membuat jagoan kampung kuwalahan. Bahkan, bukan gelar tak terkalahkan saja yang direbut, tetapi juga hatinya. Ajo Kawir jatuh cinta, pun juga Iteung.

Ilustrasi: Palari Films

Pertarungan itu benar-benar membuat mereka berdua terjebak dalam ruang cinta. Namun, Ajo tak berani menyatakannya, bahkan menghilang. Penyebabnya adalah Ajo Kawir impoten. Dia mengalami itu sejak trauma yang dialaminya sewaktu kecil. Saat hari gelap pemerkosaan Rona Merah—diperankan oleh Djenar Maesa Ayu. Namun, sebagaimana kata Sujiwo Tejo, “Cinta selalu tak punya alasan,” Iteung tak menghiraukan impotensi Ajo itu. Mereka menikah.

Kehidupan Ajo memang tak berjalan mulus. Dia sebenarnya memiliki tugas untuk menghabisi Si Macan atas permintaan Paman Gembul—diperankan oleh Piet Pagau. Selain itu, ia juga memiliki konflik dengan Budi Baik—diperankan oleh Reza Rahardian. Lebih tepatnya, Budi Baik adalah perusak kehidupan Ajo Kawir. Cintanya kepada Iteung yang bertepuk sebelah tangan membuat Budi melakukannya. Budi Baik memperkosa Iteung. Iteung hamil dan ketahuan Ajo Kawir. Membuat Ajo marah dan melampiaskannya untuk menghabisi Si Macan yang belum sempat terlaksana karena larangan Iteung.

Ajo Kawir dipenjara, kemudian menghilang. Iteung yang merasa bersalah akhirnya memilih membuang anaknya, sambil terus mencari dan menunggu Ajo. Iteung murka. Budi baik dibunuhnya, ia masuk penjara. Lalu dua orang pemerkosa Rona Merah juga dibunuhnya. Ajo Kawir dan Iteung akhirnya bertemu kembali atas bantuan Jelita—diperankan oleh Ratu Felisha—melalui kemisteriusannya. Lalu, Iteung deijemput polisi…

Maskulinitas Toksik

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menyajikan hal kompleks. Salah satu yang paling menonjol ialah toxic masculinity (maskulinitas toksik). Maskulinitas toksik membuat pria yang tidak memiliki “sifat lelaki” yang dibentuk oleh konstruksi masyarakat, seperti kejantanan seksual, dianggap sebagai lelaki gagal. Itulah yang dialami Ajo Kawir. Untuk membuktikan kejantanannya, ia hobi melakukan perkelahian. Padahal, tidak seharusnya seperti itu.

Sama seperti persoalan gender lainnya, konstruksi tentang gender yang dibentuk oleh masyarakat seringkali membuat down orang-orang yang tidak bisa memenuhi, atau mencoba keluar dari konstruksi tersebut. Sanksi sosial pun secara tidak langsung dijatuhkan kepada orang-orang ini. Hal itulah yang dilakukan oleh Budi Baik. Budi baik adalah potret pria yang maskulin dalam konstruksi masyarakat. Dia “jantan” secara fisik maupun seksual. Dan hal itu ia pakai untuk terus menyudutkan Ajo Kawir, baik di depan Ajo sendiri maupun di depan Iteung.

Satu lagi yang coba ditampilkan oleh film ini soal gender, yaitu wanita yang juga aktif dalam hubungan percintaan. Terlihat saat Iteung terus mencari Ajo melalui pesan radio, dan ketika ia bicara, “Aku akan mengawininya,” saat Ajo Kawir minder dan mempertanyakan soal ke-impotensi-annya. Selama ini, hanya pria lah yang dianggap harus aktif mengejar dan menyatakan perasaannya kepada wanita. Namun, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas mencoba menyangkal hal itu.

Redefinisi Cinta

Bicara lagi soal cinta, kisah Ajo dan Iteung benar-benar membuktikan bahwa cinta memang tidak membutuhkan alasan, termasuk seks. Persoalan seksual, yang sebagaimana dikatakan oleh Freud adalah definisi cinta itu sendiri, sangat disangkal oleh film ini. Hal ini juga pernah disampaikan Eka Kurniawan dalam novelnya lagi yang lain, Cantik itu Luka, melalui adegan Alamanda dan Kamerad Kliwon yang tidak melakukan apapun meski telanjang berdua di kapal dan saling mencintai. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas mencoba menunjukkan bahwa “cinta” tidak membutuhkan alasan apapun, bahwa “cinta yang tulus” itu memang benar-benar ada.

Kemesteriusan Jelita

See Also

Terakhir soal cerita film ini, yang membuat saya harus berpikir saat menontonnya adalah kehadiran Jelita. Jelita ditampilkan dengan sangat misterius. Seringkali ia tiba-tiba muncul. Sebelumnya dia juga tidak terlihat sama sekali. Dengan perawakan yang aneh, sedikit bicara, dan segala kemesteriusannya, tokoh ini benar-benar membuat penonton berpikir. Jika boleh, saya berasumsi bahwa Jelita ini adalah roh atau hantu dari Rona Merah. Jawaban ini saya dapat ketika di akhir, gigi emasnya ditampilkan dengan jelas. Apalagi, pengalaman membaca novel Cantik itu Luka, Eka Kurniawan juga memakai semacam realisme magis untuk bercerita. Seperti kehadiran para “hantu komunis” yang seolah-olah seperti manusia dan berinteraksi dengan semua manusia, begitu juga dengan Jelita dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Jadi, benarkah Jelita ini adalah hantu dari Rona Merah? Hanya Eka Kurniawan dan Edwin yang tahu.

Jika memang benar seperti itu, mungkin sosok Rona Merah dan Jelita ini adalah potret bangsa kita semasa puncak kejayaan sampai keruntuhan rezim Orde Baru. Rona Merah adalah potret rakyat Indonesia yang sering mengalami ketidakadilan. Lalu, Jelita adalah potret perubahan rakyat untuk memberanikan diri menjatuhkan rezim dan memulai era reformasi. Di Seperti Dendam, Jelita membunuh Paman Gembul, yang di scene sebelumnya, pernah dipanggil “Jenderal” oleh Ajo Kawir.

Akhir Kata

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas juga menyajikan visual yang bagus. Sesuai dengan latar film yang diceritakan. Bahkan, bahasa yang dipakai oleh para penuturnya pun juga disesuaikan dengan latar waktu film. Dialog-dialog tokohnya menggunakan bahasa yang baku—meskipun terdengar aneh karena perilaku bahasa kita saat ini sangatlah berbeda.

Seperti Dendam berhasil membuat saya “kelelahan” dengan banyaknya adegan erotik, kekerasan, dan pembunuhan, sewaktu pulang dari bioskop. Dan, sebagaimana film lainnya yang diadaptasi dari novel, kesan pertama setelah menonton pasti adalah, “Ah, masih bagusan novelnya.”. Lumrah, karena kebebasan imajinasi terbatasi jika di film, dan adegannya pun juga tak serinci di novel. Tapi, saya merasakan sesuatu yang berbeda dari film ini. Jika Anda berusia 18 tahun ke atas dan ingin merasakan “sesuatu yang berbeda” itu, silakan menonton…

 

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top