Majelis Pengajian Rakyat
menempuh Pendidikan di Sekolah Menengah Kesunyian
Di sebuah bab yang tertera dalam kitab Fathul Qorib, saat semburat cahaya masih remang-remang, seseorang menyalakan sebuah damar di dalam kamar yang terdapat gambar seorang semar.
Formasi melingkar di depan meja bundar, tetapi ini bukan acara konferensi meja bundar, dan bukan juga makan-makan nasi telur dadar.
Lalu kiai As’ad merapal do’a dan mengucurkan lantunan sholawat kepada sang pujangga kitab.
Dibacanya dengan penghayatan yang sangat sangat matang, seperti warna sebuah kentang.
“Dan di dalam bab ini menjelaskan tentang hukum potong tangan bagi seorang pencuri.”
Lelaki paruh baya dengan peci hitam dan kacamata tebalnya itu mengacungkan tanganya.
“Selama satu tahun aku menjabat sebagai presiden dulu, aku tak habis pikir jika diterapkan di sini.”
“Apakah yang dimaksud di sini itu Indonesia? Heua heua aku paham betul tentang itu yang rasis, sok kritis padahal hanya modal betis.”
Lelaki berpeci merah putih itu juga ikut angkat bicara.
“Semisal diterapkan juga tak apa, toh negara ini pemecah rekor negara dengan muslim terbanyak di dunia, kurang sakral apa negri ini?”
Tukas salah seorang ulama nusantara yang masyhur nan sepuh dengan nada sedikit berpikir.
“Bahkaan pemecah rekor kantor dengan kandang tikus terganas di Asia.”
Cetus pria paruh baya dengan peci merah putih yang duduk dipojok dengan wajah tanpa dosa.
“Ah aku tetap tidak begitu yakin, mungkin! Coba amati jamiyahku yang begitu santai, sebuah “waktu” dimetaforakan kepada kutu yang diundur-undur melulu.”
Tetua kita, yakni Mbah Hasyim melantunkan kalimat dengan nada sendu seperti air mata ibu.
“Benar juga, mungkin seorang MPR pun akan turun kursi jika itu terjadi, sebab gendang telinganya tak mampu menampung ayat-ayat seorang rakyat yang sungguh terhormat.” Tukas lelaki berpeci hitam sembari membetulkan letak kacamatanya yang tebal.
“Seperti ini saja.”
Lalu seorang kiai muda dengan baju dan kopiah putih, wajah berseri-seri memotong sepotong percakapan yang dihidangkan di sebuah meja bundar.
“Kita menganut komposisi NKRI ketika kita ingin menanamkan sesuatu maka kita juga harus memikirkan porsi yang ada di negeri ini.”
“Baiklah mari kita bungkus hasil pengajian ini, dan kirimkan ke alamat Istana Negara.”
sajak: Alya Latifatul
gambar: Fatma
menempuh Pendidikan di Sekolah Menengah Kesunyian