Memaknai Hari Ibu
Mata Pena adalah media sosial informasi di bawah pengelolaan Badan…
JEMBER, MATAPENA—Hari Ibu bukan hanya momentum untuk mengekspresikan cinta kepada ibu. Sesuai dengan sejarah, jika berbicara soal Hari Ibu, maka tak bisa lepas dari pembicaraan soal perempuan. “Persoalan perempuan adalah persoalan kebangsaan,” begitulah yang diungkapkan Ruby Kholifah, salah satu narasumber di acara Talkshow Series dengan tema “Memaknai Hari Ibu sebagai Tonggak Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia” yang diadakan Bidang III (Pendidikan dan Penalaran) dan Badan Semi Otonom Kader Putri (BSOKP) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Ilmu budaya (FIB) Komisariat Universitas Jember (UNEJ), Rabu (22/12/2021) malam. Acara ini menghadirkan dua pemateri. Pemateri pertama adalah Ruby Kholifah, Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia. Sementara itu, pemateri kedua adalah Maslahah, Ketua PMII Rayon FIB UNEJ periode 2018 yang juga aktivis pergerakan perempuan. Dimoderatori oleh Kuni Zakiyah, Koordinator BSOKP PMII Rayon FIB UNEJ, obrolan berlangsung menarik. Peserta yang sebagian besar anggota PMII Rayon FIB UNEJ dan beberapa peserta eksternal rayon terlihat tertarik dengan topik yang diambil.
Ruby Kholifah, narasumber pertama, memulai penjelasan dengan mengingatkan peserta tentang sejarah adanya Hari Ibu, yaitu Kongres Perempuan I pada 22-25 Desember 1928. Hasil kongres ini salah satunya adalah terbentuknya Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Melalui PPPI tersebut, terjalin kesatuan semangat juang kaum perempuan, bersama-sama dengan kaum laki-laki berjuang meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Ruby menjelaskan saat itu kongres juga dihadiri organisasi-organisasi yang pada dasarnya non-perempuan seperti Budi Oetomo, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah.
“Kongres saat itu memang jadi pondasi penting untuk upaya kemerdekaan Indonesia,” jelasnya.
Dalam analisis persoalan perempuan, Ruby menekankan para aktivis untuk menghadirkan kesadaran bahwa perempuan bukanlah entitas tunggal. Dalam memandang hal tersebut, diperlukan cara pandang interseksional, yaitu memandang juga lapis-lapis identitas yang dimiliki perempuan.
“Misalnya (dalam) menganalisis korban, menganalisis bukan hanya karena dia perempuan, tetapi menelisik budaya yang bertumbuh di sekitar dia. Seberapa (besar) dukungan masyarakat, tafsir konstruksi gender, dan lain lain. Semua ini penting, karena setiap pengalaman itu menentukan, termasuk faktor identitas. Setiap gagasan juga merefleksikan di mana ia tumbuh dan dibesarkan,” tuturnya saat memaparkan refleksinya soal Hari Ibu.
Kongres-kongres perempuan yang diadakan juga berpengaruh terhadap pandangan masyarakat Indonesia tentang hak asasi manusia (HAM), utamanya kesetaraan gender. Apalagi, bukan hanya para perempuan yang hadir dalam kongres-kongres tersebut. Banyak laki-laki yang meyakini gender equality perlu diperjuangkan turut hadir dalam kengres-kongres yang diadakan. Ruby menekankan bahwa pemenuhan HAM tidak akan sempurna jika pemenuhan hak perempuan tak dijalankan.
“HAM tanpa pemenuhan hak perempuan adalah palsu!” tegasnya.
Hari Ibu dan sejarahnya dapat dijadikan pelajaran bahwa partisipasi perempuan itu penting. Perempuan menciptakan ruang partisipasi tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana imajinasinya menjadi sebuah negara bisa diekpresikan ke dalam usulan yang dapat dipertimbangkan pemerintah. Untuk membuktikan hal tersebut, Ruby mencontohkan konflik yang terjadi di Aceh.
“Bahkan suara perempuan bisa membuat Aceh memilih jalan damai daripada referendum. Baru memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk mewadahi aspirasi rakyat,” tuturnya.
Bias gender dengan meletakkan perempuan di “kelas dua” dalam konstruksi masyarakat sangat berpengaruh terhadap perlakuan masyarakat terhadap perempuan. Menurut Ruby, kebanyakan saat ini yang dipandang pada perempuan adalah tubuh. Hanya melihat dari sudut seksual, bukan intelektual dan spiritual.
“(Hal ini) membuat perempuan tak dihargai pencapaiannya, menjadi(kan) pertanyaan (yang ada adalah) ‘anaknya berapa?’, ‘menikahnya kapan?’, dan lain-lain,” jelasnya.
Sejarah yang telah dilalui bangsa Indonesia menunjukkan peran serta partisipasi perempuan sangat besar. Tinggal pemerintah memulai memberi contoh tentang bagaimana cara memberi penghargaan yang benar terhadap perempuan. Sebab, sampai saat ini, kontibusi perempuan cukup besar di banyak bidang.
“Di masa pandemi banyak pergerakan dipimpin kaum ibu yang memberikan pendidikan terhada masyarakat tentang bahaya covid dan cara menghadapinya, cara menolong yang sakit,” terang Ruby untuk membuktikan.
Dalam memaknai Hari Ibu, Ruby menjelaskan setiap orang bebas bagaimana memaknainya.
“Namun, saya berharap bisa membaca sejarah Hari Ibu karena ada ikatan yang kuat dari gerakan nenek moyang kita,” tutupnya.
Sementara itu, Maslahah, narasumber kedua, juga menekankan untuk memahami latar belakang adanya Hari Ibu. Menurutnya, gerakan perempuan sebenarnya bukan baru dimulai, tetapi sudah ada sejak jauh sebelum Indonesia merdeka.
“Peranan perempuan (sudah) ada jauh sebelum 1912, (tetapi tak terbahas) karena keterlibatan perempuan tak ditulis oleh sejarawan yang menulis laki-laki sebagai subjek primer peristiwa(-peristiwa) penting (dalam) sejarah,” tambahnya.
Selain itu, Maslahah juga menekankan untuk tidak memandang perempuan hanya sebagai objek pelengkap. Sebab, isu perempuan sebenarnya adalah urusan semua orang juga. Bukan hanya urusan perempuan.
“Permasalahan perempuan bukan hanya permasalahan perempuan, tetapi permasalahan kemanusiaan,” tegasnya.
Sebagai nasihat, Maslahah berpesan agar perempuan juga mandiri.
“Perempuaun harus memiliki kemandirian juga. Baik itu kemandirian pemikiran, juga kemandirian ekonomi,” tuturnya.
Acara kemudian dilanjutkan dengan dialog antara narasumber dan peserta yang dipandu oleh moderator. Sesi tanya jawab berlangsung menarik. Para peserta aktif melontarkan pertanyaan dan memberikan pendapat. Salah satunya adalah Rizal Kurniawan yang menanyakan soal korelasi antara tren childfree dan withood yang kini mulai marak dengan gerakan perempuan. Pertanyaan tersebut dijawab oleh narasumber bahwa persoalan itu merupakan salah satu hak dan perempuan. Dan itu memilik korelasi dengan gerakan perempuan.
“Ini kan rahim-rahim gue, jadi ya terserah, dong, gue mau ngapain dengannya,” tutur Ruby saat mempraktekkan penganut childfree dan withood untuk menjawab pertanyaan Rizal.
Menurut Kuni Zakiyah, Koordinator BSOKP PMII Rayon FIB UNEJ, Hari Ibu harus dimaknai dengan dalam.
“Melihat sejarah, bahwa perempuan sangat dimuliakan (red: semangat dan kuat). Perempuan bisa berjuang untuk bangsa indonesia. Jangan pernah merasa perempuan lemah. Perempuan harus bisa bekerja keras agar tak dianggap lemah,” tuturnya.
Acara kemudian diakhiri dengan foto bersama antara narasumber, moderator, dan peserta.
Riska Ayu Sofin, kader PMII Rayon FIB UNEJ angkatan 2021, yang juga mengikuti acara ini merasa dirinya termotivasi.
“Setelah mengikuti zoom ini saya menjadi semakin yakin untuk melanjutkan pendidikan dan cita-cita saya, dan melawan omongan omongan tetangga yang seringkali meremehkan perempuan,” ungkapnya.
Menurut Riska, penyampaian kedua narasumber juga mudah dimengerti.
“Semoga siapa pun yang hadir dalam zoom malam ini mendapat manfaat dan (ke depan) pesertanya tambah banyak,” pungkasnya.
Jurnalis: Muhammad Rizqi Hasan
Mata Pena adalah media sosial informasi di bawah pengelolaan Badan Semi Otonom Media Informasi (BSOMI) yang mewadahi tulisan para kader PMII, khususnya Rayon Ilmu Budaya Universitas Jember. Sebuah media alternatif dengan konten literasi yang beragam namun, tetap terkupas melalui sisi pergerakan. Rayon PMII Ilmu Budaya dengan basis pengetahuan sastra, seni, dan budaya tentu tidak akan jauh dan lepas dari wacana tersebut. Tiga kunci yang menjadi modal dasar kaderisasi dan pengembangan kader. Oleh karena itu, Mata Pena hadir sebagai sarana media literasi. Salam literasi! Salam Pergerakan!