Memanfaatkan Kesaktian Pancasila
Suka dan memang sering kesepian
Baru-baru ini, 1 Oktober, kita telah bersama-sama memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Puluhan poster berisi ucapan pastilah kita lihat, atau bahkan kita unggah sendiri, di berbagai media sosial.
Dan sepertinya, hari ini juga, kita patut mempertanyakan kembali, mengapa seorang Mahbub Djunaidi berani berargumen dalam satu kolomnya dengan sangat radikal, bahwa “Pancasila mempunyai kedudukan lebih sublim dibanding Declaration of Independence susunan Thomas Jefferson yang menjadi pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat tanggal 4 Juli 1776, maupun dengan Manifesto Komunis yang disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels tahun 1847.”
Apakah Pancasila hari ini memang masih seheroik, sesakti dan sedigdaya apa yang kemudian dicita-citakan founding fathers kita dulu?
Sebab, jujur-jujuran saja, selama ini, masyarakat kita lebih sering memposisikan pancasila tidak lebih sebagai hiasan di dinding-dinding ruangan, alih-alih menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Mengutip salah satu lirik lagu Tony Q berjudul Kong Kalikong, “Apakah Pancasila hanya akan jadi slogan belaka?”
Oleh sebab itu, di momen ini, seharusnya bisa kita manfaatkan dengan baik agar peringatan Hari Kesaktian Pancasila bisa benar-benar menjadi peringatan hari penting, khususnya dalam kehidupan kita.
Presiden Soeharto menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila karena menganggap Pancasila sanggup bertahan dan langgeng walaupun kegoyahan besar terjadi di Indonesia: kisruh 30 September 1965, sebuah peristiwa yang katanya adalah bentuk pemberontakan Partai Komunis Indonesia untuk merongrong ideologi bangsa Indonesia. Namun, baru-baru ini ternyata banyak yanng tak setuju dengan hal itu. Bahkan, Syafi’i Maarif, mengutip dari Kompas.id, mengatakan bahwa penetapan Hari Kesaktian Pancasila oleh Presiden Soeharto adalah “kecelakaan sejarah”. Sebab, penetapan itu tidak melibatkan Soekarno, yang notabenenya adalah salah satu perumus Pancasila, sama sekali. Ada juga yang mengatakan bahwa penetapan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila karena keterkaitannya dengan peristiwa 30 September sama sekali tidak tepat. Sebab, memang nyatanya pemberesan konflik itu tidak Pancasilais sama sekali: genosida tak kurang dari dua juta jiwa orang yang “dituduh” Komunis.
Kabut tebal soal peristiwa 30 September dan peristiwa yang mengikutinya memang sampai sekarang belum hilang. Namun, tak etis juga jika kita selalu membicarakannya hanya untuk mengorek luka lama dan tak menimbulkan efek positif bagi kita. Penyingkiran kabut juga harus dibarengi dengan menyalanya sinar Pancasila dari setiap hati manusia-manusia Indonesia.
Sebagai pemuda, kita adalah penentu akan menjadi apa Indonesia ke depan. Kita adalah pelaku program “Indonesia Maju 2045”. Seharusnya kita mulai menghidupkan nyala sinar Pancasila dari dalam diri. Hantaman-hantaman dari luar seharusnya tak menghalangi Pancasila dalam diri kita untuk tetap menyala. Sudah waktunya kita merenungkan kembali, seberapa dekat kita dengan Tuhan, seberapa humanis kita, seberapa toleran kita, seberapa bijaksana kita dalam berpendapat dan menyikapi pendapat, dan seberapa mampu kita untuk menempatkan sesuatu sesuai dengan kadarnya?
Lima sila yang tertera dalam Pancasila sebenarnya bisa membuat kita “sakti”. Ketuhanan Yang Maha Esa, jika tertanam subur dalam jiwa, seharusnya sudah bisa membimbing diri kita untuk mengimplementasikan empat sila di bawahnya. Bagaimana tidak, tidak ada ajaran agama yang destruktif—kecuali penganutnya yang salah memahami. Apalagi, sebagai warga nahdliyin, kita sudah sangat terbiasa dengan tasamuh, tawasuth, dan tawazun sebagai landasan kita menjalani kehidupan.
Sila pertama yang terimplementasi dengan baik dalam benak kita, tentu akan menghasilkan pribadi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab. Sebagai negara yang “ber-Pancasila”, sungguh tak patut sebenarnya jika masih ada orang-orang yang masih tertindas haknya, orang-orang yang serba kekurangan, dan kalangan yang dianggap “bawah”. Sedangkan di lain sisi banyak dari kita yang serba terpenuhi dan manja malah pura-pura buta dan tuli terhadap keberadaan mereka.
Kemanusiaan yang adil dan beradab, tentu akan membuat persatuan Indonesia menjadi lebih gampang diwujudkan. Sebagai manusia yang humanis, tentu hak-hak orang lain sudah menjadi prioritas juga. Takkan ada perpecahan karena hak orang lain dijunjung tinggi. Malah kebersamaan yang diwariskan nenek moyang kita yang salah satunya melalui tradisi gotong royong akan mudah terwujud. Kemanusiaan nomor satu. Sehingga bhinneka yang memang menjadi kodrat bangsa kita bisa benar-benar tunggal ika.
Ketika sudah bersatu, kita akan lebih mudah melakukan musyawarah-musyawarah untuk membahas hal-hal yang negara ini perlukan. Perbedaan pendapat malah menjadi kekayaan ide dan tambahan informasi untuk mencapai mufakat. Ketersinggungan karena kritik tidak akan pernah terjadi. Kita menjadi manusia humanis yang hikmat dan bijaksana ketika memberikan pendapat/kritik dan diberikan pendapat/kritik.
Saat semua itu telah diterapkan, tak diragukan lagi, keadilan sosial bukan lagi menjadi hal yang utopis untuk bisa kita peroleh. Keadilan sosial penting untuk mewujudkan kemajuan sebuah peradaban, dari segala sisi. Kehidupan sosial yang adil tidak akan pernah bisa menimbulkan masalah-masalah yang menghambat kemajuan itu. Dengan keadilan sosial, semua bisa semangat dan legowo bersama menyusun kemajuan.
Lima sila dalam Pancasila mesti menjadi acuan pokok bagi kita kaum muda sebagai ujung tombak bangsa Indonesia. Apalagi, 2045 mendatang, kita adalah pendominasi kuantitas penduduk Indonesia. Namun, kuantitas takkan berarti jika tanpa kualitas. Pancasila harus segera kita nyalakan dalam diri agar “Indonesia Maju 2045” bisa terwujud melalui bonus demografi yang didapat. Bonus tersebut harus benar-benar kita maksimalkan agar tidak menjadi “jebakan demografi” yang malah akan memperburuk kondisi negeri ini. Dengan hal itu, kesaktian Pancasila akan benar-benar bisa kita ilhami dan manfaatkan sebagai senjata untuk kemajuan peradaban Indonesia. Sebagaimana dalam wayang, sesakti apapun gaman, tidak akan berguna jika pemiliknya tidak arif, apalagi tidak tahu cara menggunakannya.
Muhammad Rizqi Hasan,
dari diskusi kebangsaan oleh KIPMII,
2 Oktober 2021.
Suka dan memang sering kesepian
MANTAPMII✨