Now Reading
Membaca Gerbong

Membaca Gerbong

Duduklah aku di depan dara cantik berkerudung biru. Tak ada obrolan terlontar
atau senyum tergurat. Setebal buku kuraih dari tasku berbarengan dengan matanya juga mata lelaki tua di sampingnya yang mengikuti gerak tanganku.

 

Terbaca olehku tulisan di atas palu saat dia memberi senyum pada layar ponselnya. Kubuka buku yang berbubuk bisu, yang tak pernah favorit dan tlah jemu menunggu di rak belakang perpus kampusku.

 

Kurasai kalimat pertama begitu sulit mengakrabiku saat ponselnya meneriaki aku untuk lekas menutup dan manjauhi buku yang kupegang. Kursi 12E-nya dan 11E-ku juga seperti memaksaku meraih palu, memecah kaca, dan melemparkan buku ini kepada para petani yang senyumnya kecut saat memanen padinya.

 

Kalimat kedua pun juga sama: ia justru seperti membenciku. Huruf-hurufnya berlarian saat mataku mengejarnya. Ah! Aku menyerah!

 

Kututup dan hanya kupangku buku berdebu itu, lalu bibirku mulai bersuara: “turun di stasiun mana, Mbak?” Sial, suaraku tenggelam dalam musik serta gambar yang selalu berganti dalam tiga puluh detikan layar ponsel yang kuhitung sudah lima kali disenyuminya. Ah, kurang ajar!

 

Dan lelaki tua di sebelahnya
yang sedari tadi memandangi gerak tanganku justru yang menimpali pertanyaanku dengan pertanyaannya juga: “buku apa, Mas?”

 

Ia tuturi aku bahkan melebihi huruf-huruf yang lari ketika kukejar tadi. Saat suara penyiar berbunyi kereta sampai di Stasiun Kalibaru, lelaki tua yang stasiun tujuannya sama denganku ini masih menceritakan Werkudara. Sementara dara cantik yang mulutnya tak pernah membulan sabit kecuali pada ponselnya itu masih tersenyum untuk kesepuluh kalinya.

 

Perjuangan Werkudara sudah sampai di Gunung saat para petani di utara gerbong sama saja dengan di Kalisat tadi, tersenyum kecut: harga beras hancur dan pupuk melambung dan BBM naik!

 

Werkudara yang berguru pada orang yang bahkan ingin membunuhnya tetap gigih menghajar siluman yang ia temui di dasar samudera. Namun ia bertemu Dewa Ruci dan mendapat ilmu kesempurnaan jiwa tepat saat kereta yang kunaiki sampai di stasiun tujuanku: Kalisetail. Kubantu lelaki tua itu menurunkan bawaannya yang cuma sedikit.

 

Ketika kuulurkan tas lelaki tua itu, dara yang sedari tadi tersenyum pada ponselnya tergeragap: “loh, Kalibaru sudah terlewat?”

See Also

 

Lelaki itu dan aku hanya dapat tersenyum. Lalu kami berdua berjalan turun sambil terus kurasai Werkudara yang keluar dari mulutnya sedang menikmati ketenangan bertemu Dewa Ruci, dari usaha pencarian ilmunya yang tak peduli terhadap niat Drona, gurunya yang getol ingin membunuhnya.

 

Saat aku sampai di pintu keluar stasiun, terbesit di kepalaku, “mungkin jika aku juga tersenyum pada ponselku sebanyak 15 kali seperti dara tadi, aku sudah sampai di Stasiun Ketapang saat ini.”

 

Puisi Muhammad Rizqi Hasan

ilustrasi: Cindy

*puisi ini meraih juara 1 pada lomba puisi Pesta Literasi Perpustakaan UNEJ 2022

 

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top