Now Reading
Membangkitkan Lagi Jagoan Kita (Ulasan Film “Satria Dewa: Gatotkaca”)

Membangkitkan Lagi Jagoan Kita (Ulasan Film “Satria Dewa: Gatotkaca”)

Perfilman Indonesia agaknya semakin maju. Munculnya Satria Dewa Universe adalah salah satu wujud dari perkembangan itu. Terdiri dari enam tokoh yang terinspirasi dari cerita pewayangan (Gatotkaca, Arjuna, Yudhistira, Bima, Nakula & Sadewa, dan Srikandi), Satria Dewa Universe sudah seperti Marvel saja dengan Avangers-nya. Satria Dewa: Gatotkaca adalah tokoh pertama yang tayang dalam Satria Dewa Universe. Film garapan Hanung Bramantyo ini menggunakan CGI (Computer Generated Imagery) di 500 titik dalam filmnya (Suara.com, 12/6/2022). Ketika mengetahui itu, tentu bayangan kita akan tertuju pada animasi dan adegan yang keren layaknya film-film Marvel. Jadi, pasti tidak akan ada lagi adegan yang seperti adegan menunggang burung elang di sinetron-sinetron kolosal Indonesia, hehehe. Apalagi ketika mengetahui bahwa produksi film ini menghabiskan biaya sebesar 20-24 miliar dan satu miliar hanya untuk kostum (Suara.com, 12/6/2022), pastinya ekspektasi kita melambung tinggi. Satu lagi, film yang bisa ditonton oleh semua usia (SU) ini akan diputar juga di Amerika Serikat dan Kanada (Suara.com, 13/6/2022). Pasti, kualitasnya nggak main-main…

Bioskop agak sepi ketika saya masuk ke ruangan. Hanya ada beberapa remaja dan orang tua yang beberapa juga membawa anaknya. Film diputar. Adegan dibuka dengan mundur ke masa kecil Yuda (nantinya ternyata Gatotkaca)—diperankan oleh Rizky Nazar—yang oleh ayahnya (Pandega)—diperankan oleh Cecep Arif Rahman—ditinggalkan bersama ibunya (Arimbi)—diperankan oleh Sigi Wimala—dan Pusaka Brajamusti di sebuah gubuk tengah hutan. Adegan selanjutnya menceritakan kehidupan personal Yuda yang kesusahan. Setelah itu perjuangan Yuda (Gatotkaca) dan teman-teman geng Pandawa-nya dalam memecahkan banyak kasus pembunuhan misterius dari geng Kurawa. Saya cukup menikmati cerita yang disuguhkan.

Perhatian saya langsung teralihkan ketika mendengar beberapa anak di ruangan bioskop menangis dan menjerit, “Takut,  Ma… Ayo pulang…” beberapa saat setelah film dimulai. Wajar, adegan pembuka film malah justru seperti adegan-adegan pembuka di film horor. Dengan musik tegang dan pencahayaan gelap (suasana malam hari), ditambah adegan seorang bocah dibacok di sepuluh menit pertama, saya mungkin juga akan seperti itu ketika masih anak-anak dan menonton ini. Perlu dikoreksi lagi, apakah film ini memang untuk semua umur (SU)? Saya kira tidak. Harus ada revisi tentang itu. Sangat banyak adegan kekerasan yang anarkis dan sadis. Suara-suara bacokan senjata ke tubuh yang membuat telinga kerih sering sekali muncul. Darah? Darah juga hal yang seperti hampir selalu ada di semua bagian film. Apalagi beberapa adegan menunjukkan Yuda membenci dan berkelahi dengan ayahnya sendiri. Perkelahian, pembunuhan, dan darah seharusnya membuat film ini tidak dilabeli dengan SU, melainkan remaja (R).

Soal cerita, banyak yang membuat saya bingung. Cerita seolah-olah ingin menampilkan kisah pewayangan namun dibungkus dengan gaya modern. Nama-nama yang ada pun dibuat seperti benar-benar cerita wayang. Negara tempat Gatotkaca hidup adalah Astinapura, gengnya pun bernama Pandawa dan Kurawa. Bahkan, dijelaskan juga silsilah dari para geng Pandawa dan Kurawa. Kebingungan saya ialah, apakah cerita benar-benar didasarkan pada cerita Mahabharata seperti di wayang, atau ingin membuat semacam Gatotkaca di zaman yang lain, yang tidak sama dengan Gatotkaca di pewayangan? Jika ingin sama seperti di wayang, jelas film ini tidak merepresentasikan itu. Pewayangan jelas menceritakan Gatotkaca gugur ketika perang Bharatayudha. Jika ingin membuat, katakanlah, Gatotkaca baru, film ini juga tidak merepresentasikan itu. Nama ibunya sama dengan ibu Gatotkaca di pewayangan: Arimbi. Banyak hal membingungkan lainnya, terkhusus bagi yang sudah sering mendengar kisah-kisah Gatotkaca. Entah, mungkin ini sebuah bentuk kreativitas dari Hanung Bramantyo dalam mengemas superhero lokal ini. Namun, bagi saya, kerancuan ini merupakan sesuatu yang “nanggung”. Dalam dunia sastra, Hanung sedang melakukan restorasi sebagai ungkapan kerinduan pada norma (yang dalam hal ini adalah kisah pewayangan) yang sudah dianggap usang. Namun, di lain sisi juga sedang melakukan negasi terhadap norma yang dirindukan tersebut.

Secara keseluruhan film ini cukup bagus untuk dinikmati. Terkhusus grafisnya. Ya, penggunaan CGI sungguh membantu. Namun, dari segi cerita, sepertinya seri-seri Satria Dewa selanjutnya perlu diperbaiki lagi. Apalagi soal tampilan-tampilan yang tak layak untuk film berlabel SU, perlu diperbaiki. Atau, lebih baik labelnya diganti saja dengan R bahkan D jika memang adegan-adegan yang tak pantas untuk label SU itu diperlukan untuk kesempurnaan film. Namun, sekali lagi, kita patut bangga karena pada akhirnya punya film-film superhero sendiri, dengan kemasan yang super keren. Kalau ada sepuluh bintang emas di tangan, saya akan memberikan yang lima untuk film ini.

Selamat menonton…

See Also

 

Penulis: Rizqi Hasan

Penyunting: Alfiyatun Hasanah

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top