Now Reading
Menerbangkan Realitas Layang-Layang

Menerbangkan Realitas Layang-Layang

Jika dulu bermain layang-layang hingga petang berarti bersiap-siap mendapat pukulan sapu lidi, kena cethol, atau telinga berdengung karena omelan orang tua; tidak dengan saat ini. Jika dulu layang-layang adalah permainan yang identik dengan anak-anak, tidak dengan saat ini. Semuanya sudah berbalik…

Tadi (29/6/2023) sore saya sejenak berkeliling di sekitar rumah menggunakan motor Astrea bapak, setelah rampung dari ATM untuk mengganti PIN kartu debit BSI ibuk. Iya, BSI yang kemarin diserang kelompok ransomware. Di ketidaklangsungpulangan itu, saya tertarik dengan ramai-ramai di jalanan sawah. Saya menggeber motor ke sana.

Jalanan sepanjang 700 meter itu ternyata sudah penuh dengan sekira 300-an orang berjajar di tepi jalan, beberapa juga di tengah sawah; di pematangnya. Bukan hanya jalanan, tetapi langit juga terlihat sesak. Seratus lebih layang-layang bergolek malas ke kanan dan ke kiri.

Orang yang berjumlah 300-an itu bukan hanya berisi anak-anak. Malahan, yang dominan adalah remaja dan dewasa awal. Bukan hanya itu; bayi, balita, dewasa, sampai orang tua pun ada. Motifnya juga beragam; bermain layang-layang, hanya menonton, menanti dan mengejar layang-layang putus, berjualan kopi, dan pacaran. Ada juga yang datang untuk mengawasi tanamannya agar tak diinjak-injak.

Layang-layang menjadi primadona sore hari. Tren baru, setidaknya di daerah sini (Dusun Jalen, Genteng, Banyuwangi). Saya berani mengatakan demikian, sebab ada wajah-wajah yang asing bagi saya. Itu berarti yang datang bukan hanya dari warga sekitar sawah, melainkan juga dari jauh. Peminatnya luas.

Akan tetapi, sepertinya saya tak boleh heboh menanggapi fenomena ini. Tentu kita belum lupa dengan lato-lato yang tiba-tiba menjadi tren; dari anak-anak sampai orang tua, dari rakyat sampai pejabat; semua memainkan lato-lato. Bukan tidak mungkin layang-layang ini juga demikian. Nampaknya ia juga akan menjadi tren luas jika didorong oleh budaya pop, utamanya media sosial. Durasinya pun demikian, singkat karena layang-layang juga produk kebudayaan. Sebagai produk kebudayaan, ia juga pasti bersifat spiral. Dalam artian, dulu pernah muncul dan akan muncul lagi dengan beberapa modifikasi, lalu hilang lagi dan digantikan tren lain.

Bisa juga layang-layang akan selalu menjadi tren hiburan senja. Dengan syarat, ia mesti mampu menumbuhkan modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, modal simbolik, dan sebagainya. Namun kemungkinannya nampak kecill, para oligarki media digital tentu tak akan rela kehilangan waktu penggunanya barang tiga jam.

Yang jelas, se-spiral apapun layang-layang sebagai produk kebudayaan, kehadirannya sebagai tren setidaknya dapat memberikan sedikit waktu bernapas bagi kawula muda, utamanya gen Z. Setidaknya, julukan sebagai generasi “alien” karena gemar menyendiri dan rebahan dapat sejenak dihindarkan. Ada interaksi sosial dalam layang-layang. Ada gerak fisik dalam layang-layang. Ada perputaran ekonomi dalam layang-layang yang didukung kegemaran “nyenja” kaum muda.

Tentu, sebagai digital native, gen Z memiliki kecenderungan untuk “lengket” dengan gawai. Berjarak dengan realitas nyata. Mengambil pandangan dari realtas virtual untuk melakukan aktivitas di realitas virtual juga. Bahkan menggunakannya juga di realitas nyata. Tertipu. Yang dipandang di gawai adalah simulasi dari realitas nyata (baca: simulakra). Padahal, kata Plato, realitas nyata yang sebenarnya tidak sempurna ini adalah tiruan atau simulasi dari realitas yang paling sempurna alias dunia idea. Pada akhirnya, kebanyakan gen Z terjebak dalam keadaan semu dan kepalsuan akibat realitas hasil simulasi tersebut (baca: hiperrealitas). Dengan bermain atau mengamati layang-layang barang tiga jam, otomatis gen Z keluar dari zona nyamannya; keluar dari hiperrealitas walaupun sesaat.

Terakhir, 2024 sudah dekat, bukan tidak mungkin juga layang-layang menjadi instrumen kampanye jika benar-benar menjadi tren. Mengingat 2024 adalah tahun politik, sangat mungkin beberapa waktu ke depan ada layang-layang bergambar logo partai dan gambar peserta pemilu.

See Also

Sekali lagi, sebagai produk kebudayaan, layang-layang adalah arena empuk juga untuk praktik signifikasi, pertarungan memenangkan makna…

 

Penulis: Rizqi Hasan

Penyunting: Haikal

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top