Mengapa Kita Cemburu dan Bagaimana Cara Meresponsnya
Suka dan memang sering kesepian
Setelah Sahabat Akmal mengupas tuntas soal cinta beberapa saat lalu, saya jadi tertarik dengan salah satu aspek juga yang ada di dalamnya. Iya, cemburu. Cemburu adalah perasaan yang sering dikaitkan dengan cinta. Kamu pasti sudah sering dengar atau membaca kalimat “cemburu tanda cinta”. Minimal, pernah mendengarnya lamat-lamat dari lagunya Zivilia yang berjudul Aishiteru 3.
Cemburu tanda cinta
Marah tandanya sayang
Kalau curiga, itu karena kutakut kehilangan
Kalau dekat bertengkar, kalau jauh kurindu…
Sudah, cukup menyanyinya! Mari kita lanjut…
Iya. Saya jadi tertarik dengan kebenaran dari kalimat tersebut. Sebab, menurut yang pernah saya lihat, dengar, dan rasakan, pernyataan “cemburu tanda cinta” juga akan berimplikasi pada hal yang ruwet. Contoh saja, dari kalimat itu, bisa lahir dua kalimat seperti berikut:
- “Lah, kamu kok gak cemburu, sih, liat aku jalan berdua sama dia? Kamu gak cinta ya sama aku?”
- “Kamu kok cemburuan! Posesif ih, gasuka aku terlalu dikekang kayak gini!”
Dalam kalimat pertama, si penutur jelas haqqul yaqin bahwa cemburu adalah benar-benar tanda dari cinta. Dalam kalimat kedua, cemburu justru diartikan sebagai sesuatu yang membelenggu kebebasannya. Yep, berarti ada dua pendapat yang berbeda soal cemburu: pertama, cemburu memang tanda cinta. Kedua, cemburu adalah maling kebebasan sebagai individu yang merdeka (sihhh, sudah seperti Camus saja ngomongin kemerdekaan diri, haha).
Oke, jika sudah demikian. Berarti kamu sudah tahu akan ke mana arah tulisan ini. Iya, tulisan ini akan membawa kita menemukan jawaban dari polemik di atas, benarkah cemburu tanda cinta? Lalu lebih penting lagi, saya juga akan mencoba memberikan solusi soal apa-apa yang harus dilakukan ketika rasa cemburu datang melanda dan membakar dadamu. Tentu hanya berdasar pada sumber-sumber yang saya ketahui dan pengalaman pribadi sebagai makhluk cinta (awww, makhluk cinta ga tuh). Jadi, kamu boleh setuju ataupun tidak. Atau, boleh juga berdiskusi lebih lanjut via DM Instagram ke akun @husni.bulsara.
Mari kita mulai!
Apa sih cemburu itu?
Walaupun saya yakin kamu sudah tahu dan pasti pernah merasakannya, saya merasa perlu menjelaskan lagi definisi cemburu. Tujuannya agar pembahasannya terfokus dan tidak melebar ke lain hati. Eh….
Menurut Brehm dan Kassin dalam (Ilmi, 2019), cemburu dapat diartikan sebagai reaksi terhadap ancaman yang dipersepsikan terhadap keberadaan (eksistensi) hubungan. Lalu, cemburu ternyata juga ada beberapa macam: kecemburuan sosial, kecemburuan antar sahabat, dan kecemburuan romantis (romantic jealous).
Cemburu yang akan kita bicarakan di artikel ini adalah jenis kecemburuan romantis (romantic jealous). Maka, mari kita persempit dan permudah lagi definisinya, sebab definisi di atas terlalu sulit dan ndakik-ndakik. Jadi mudahnya, cemburu itu adalah “aku takut kehilangan kamu dan kamu takut kehilangan aku karena ada dia” (Uuh so sweet…)
Benarkah cemburu tanda cinta?
Kalau meminjam definisi Erich Fromm dalam The Art of Loving, cinta dapat diartikan sebagai upaya manusia dalam menghadapi keterasingannya setelah lepas dari rahim ibu. Seperti cemburu, cinta juga ada beberapa macam: cinta Tuhan, cinta sahabat, cinta romantik, dan cinta diri.
Jika demikian, kecemburuan romantik juga dapat diartikan sebagai rasa takut untuk kembali pada keterasingan lagi. Kalau melihat definisi ini, berarti Zivilia memang benar, cemburu tanda cinta, marah tandanya sayang, kalau… (stop! kok malah bernyanyi lagi)
Tapi tidak semudah itu. Ternyata cemburu atau tidak cemburunya seseorang, itu juga dipengaruhi oleh tingkat ketergantungan emosional antara dua individu (Ilmi, 2019). Jadi, semakin kuat ketergantungan emosional kamu dengan pasanganmu, semakin besar pula potensi kamu merasa cemburu jika dia melakukan hal yang kamu anggap membahayakan keterikatan emosional tersebut, melihat dia foto bareng dengan lawan jenis misalnya.
Oke, mari kita simpulkan lagi. Berarti Zivilia memang benar, dengan catatan adanya ketergantungan emosional yang kuat.
Berarti, dua pernyataan di awal tadi, yang benar yang mana?
Iya, keduanya benar. Hanya saja, cara merespon rasa cemburu itu tadi yang kurang tepat menurut saya. Oke, berarti mari lanjut ke pembahasan selanjutnya!
Bagaimana merespon rasa cemburu yang benar?
Saya tekankan sekali lagi, ini hanya berdasar pada sumber yang saya ketahui dan pengalaman pribadi yang pernah saya alami. Jadi, kamu boleh setuju ataupun tidak.
- Jangan Emosi!
Iya, ini saya taruh di paling awal karena memang, akal sehat manusia tidak dapat bekerja dengan sempurna ketika emosi. Jadi, ketika kamu melihat dia sedang asyik bergandeng dengan lawan jenis lain di alun-alun, jangan emosi dulu. Lebih baik duduk atau berwudhu sebagaimana kata Nabi. Setelah kamu menang dengan emosimu, coba ambil bukti berupa gambar, video, maupun suara. Atau minimal catatan lah soal waktu dan tempat kejadian. Setelah itu, masuk ke langkah berikutnya.
- Klarifikasi dan Mencari Bukti Pendukung
Ini penting, karena persepsi yang muncul secara sepihak, seringkali adalah persepsi yang salah, hanya impuls negatif saja. Jadi, coba chat, telepon, VC(tanpa S), atau bahkan bertemu langsung dan tanyakan itu secara baik-baik dengan membawa keterangan yang telah kamu dapat.
“Sayang, aku kemarin liat kamu sama si Juki sedang berpeluk mesra di kursi pojok atas bioskop pukul 20.42. Itu bagaimana ceritanya?”
Atau, bisa saja tanyakan dengan langsung menunjukan foto atau video yang telah kamu dapat. Setelah itu, dengarkan baik-baik jawaban dia (kalau kamu orang yang bisa psikologi, bisa juga diikuti dengan memperhatikan gestur tubuh dan matanya, atau dengan memperhatikan kalimatnya jika kamu ahli bahasa). Kemudian jawaban itu juga tak boleh kamu telan langsung, kasihan tenggorokanmu, hehe. Namun, kamu harus melanjutkannya dengan mencari keterangan-keterangan lain yang bisa didapat dari medsosnya, keterangan orang lain, atau bisa juga dengan meminta keterangan dengan
yang kamu cemburui dengannya.
Setelah itu, baru kamu boleh menuju langkah selanjutnya;
- Ambil keputusan
Iyap. Karena kecemburuan ini berkorelasi dengan cinta dan ketergantungan emosional, yang itu juga berarti terhadap tetap eksis atau tidaknya sebuah hubungan, maka keputusan harus diambil. Soalnya sia-sia juga kan meneruskan hubungan dengan orang yang tidak mencintaimu… (Uncchhhh…)
Nah, sepertinya kita sudah sampai di ujung. Dari dua pernyataan di awal tadi, saya menyimpulkan keduanya benar, hanya saja responnya yang salah…
Pernyataan 1: Si tertutur mungkin adalah orang yang hidupnya datar. Alih-alih bertanya kepada penutur yang itu sekaligus memperlihatkan rasa cemburunya, dia malah hanya menjawab, “Ooh, iya. Aku kemarin liat kamu ciuman sama dia di pojokan taman kampus. Gapapa kok, itu kan cuma teman kamu… “.
Soalnya, beberapa kasus yang terjadi adalah seseorang merasa kurang diperhatikan sehingga melakukan hal-hal yang menurutnya dapat menarik perhatian pasangannya, membuatnya cemburu misalnya.
Pernyataan 2: Si tertutur terlalu gampang emosi sehingga tidak melakukan langkah-langkah di atas. Jadi, dia cenderung menghakimi penutur. Akhirnya, si penutur justru merasa kesal dengan kecemburuan penutur yang bahkan membuatnya merasa “dikekang”. Padahal yang sebenarnya terjadi mungkin hanya kebetulan saja mendapat kursi bersebelahan dan terlibat obrolan asyik dengan lawan jenis di sebelahnya saat di kereta.
Jadi kesimpulannya, mari bersama-sama menyanyikan Aishiteru-nya Zivilia, karena memang benar bahwa “cemburu tanda cinta”. Hanya saja, respon terhadap rasa cemburu itu yang musti dipikirkan matang-matang. Sekali lagi, mari gunakan otak dengan sebaik-baiknya. Sebab, “Mengapa Tuhan menciptakan otak? Agar manusia tahu, mengapa Tuhan menciptakan otak!”
Selamat menyambut Selasa!
Penulis: Rizqi Hasan
Penyunting: Alfiyatun Hasanah
Ilustrasi: Rizqi Hasan
Suka dan memang sering kesepian