Meninjau Kembali Kebijakan Kartu Vaksinasi
Pencinta biung
Tak ubahnya “kartu sakti”, kebijakan kartu vaksinasi dan aplikasi Pedulilindungi menjadi lisensi guna menjalani aktivitas sehari-hari. Lantas bagaimana bagi mereka yang belum vaksin?. Cari sesuap nasi saja susah di masa pandemi. Lah ini, malah makin dibatasi.
Hadeh…..
Unjuk rasa untuk menolak kebijakan wajib vaksin di gedung parlemen Inggris terjadi lagi pada Sabtu, 18 Desember 2021. Sementara itu, Indonesia sebenarnya juga mewajibkan, tetapi tidak terang-terangan. Lebih memilih bersembunyi di balik kebijakan kartu vaksin sebagai persyaratan berbagai urusan. Demo di Inggris tersebut cukup untuk kita jadikan alasan untuk meninjau kembali kebijakan “wajib vaksin” secara jahr maupun sirr—seperti Indonesia.
Tepatnya Agustus lalu, pemerintah resmi “ketok palu” mengenai kebijakan kartu vaksin dan aplikasi Pedulilindungi sebagai syarat beraktivitas di masa pandemi. Mulai dari masuk mal, bepergian, pariwisata, hingga mencari nafkah pun tak lepas dari kebijakan tersebut.
Kebijakan tersebut juga menjadi bukti bagi masyarakat yang sudah menerima dosis vaksin. Masyarakat yang sudah menerima dosis vaksin, baik dosis pertama maupun kedua, akan lebih mudah dan leluasa dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Cukup melampirkan kartu vaksin atau scan kode aplikasi Pedulilindungi, masyarakat yang sudah menerima vaksin diperbolehkan masuk mal, bekerja ke kantor, atau bepergian ke luar kota.
Sebenarnya, sah-sah saja jika pemerintah ingin memberlakukan kebijakan tersebut. Toh, tujuannya juga bagus: mengatur dan membatasi mobilitas masyarakat untuk meminimalisir kerumunan dan merebaknya lonjakan kasus covid-19.
Sebagai warga negara Indonesia, kita juga harus menyambut gembira hadirnya kebijakan tersebut. Sebab, hadirnya kebijakan tersebut perlahan akan mebantu kita move on dari pandemi ini. Pandemi dua tahun telah banyak berimbas negatif terhadap keberlangsungan aktivitas masyarakat. Lebih-lebih, dalam masalah perekonomian.
Hal tersebut juga membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan ekonomi terburuk di masa pandemi. Oleh karenanya, sepintas kita patut berbagga diri dengan hadirnya kebijakan tersebut, agar semua problem di masa pandemi ini bisa cepat teratasi, terutama dalam masalah krisis ekonomi.
Namun, yang menjadi masalah adalah jika kebijakan tersebut menjadi lisensi resmi untuk seluruh masyarakat Indonesia. Lantas, bagaimana dengan masyarakat yang belum menerima dosis vaksin?. Atau, bagaimana dengan masyarakat yang tidak bisa menerima dosis vaksin?. Apakah mereka tetap akan dipaksa di rumah saja, ditengah kesukaran mencari rezeki di masa pandemi. Mencari makan di luar rumah saja susah, apalagi makin dibatasi dengan kebijakan seperti ini.
Saya sempat mendengar keluh kesah tetangga saya, yang kebetulan ia adalah salah satu buruh di pabrik yang memberlakukan kebijakan tersebut. Ia berkata begini, “Waduh, Nak. Bagaimana, ya, Nak, ngadepin zaman kayak sekarang: ke sana ke sini harus bawa kartu vaksin. Mau kerja harus vaksin, mau keluar kota harus vaksin, mau ke pasar harus bawa kartu vaksin. Lah, sedangkan saya katanya tidak bisa divaksin karena punyakit bawaan. Lalu saya mau makan apa, Nak?,” begitu tukasnya .
Kendati demikian, saya masih berpikir bahwa pemberlakuan kebijakan tersebut terkesan terburu-buru. Mengapa tidak, ditengah program vaksinasi yang masih belum maksimal pemerintah terlalu cepat memberlakukan kebijakan tersebut. Survei yang dilakukan oleh Merdeka.com pada 10 0ktober 2021 mencatat, bahwasanya target vaksinasi di Indonesia masih menyentuh persentase 27,57%. Yang artinya masih ada sekitar 70% warga Indonesia yang masih belum menerima dosis vaksin. Hal tersebut menunjukkan bahwasanya kebijakan tersebut hanya menjadi “angin segar” bagi seperempat masyarakat yang sudah menerima dosis vaksin. Lalu bagaimana dengan yang belum?
Dalam kebijakan tersebut kita dapat menyadari bahwasanya akan ada ketimpangan sosial yang akan ditimbulkan. Masyarakat yang belum menerima dosis vaksin akan merasa terbebani dengan pemberlakuan kebijakan tersebut. Tak hanya itu, kebijakan tersebut juga akan memunculkan keresahan kepada kalangan yang tidak dapat menerima vaksin, seperti orang yang memiliki penyakit, homorbid, lansia, dan orang orang yang habis terdampak covid. Kalaupun bisa, harus repot memakai surat keterangan khusus.
Scan kode kartu vaksin melalui aplikasi Pedulilindungi juga menjadi masalah tersendiri bagi masyarakat yang tidak memiliki smartphone atau semacamnya. Bolehlah kita berasumsi bahwa di era menuju 5.0 ini kita mau tidak mau harus melek teknologi. Namun, bagaimana dengan kaum lansia yang mengirim pesan suara masih harus meiminta bantuan cucunya, apalagi disuruh untuk menunjukkan scan kode QR? Serta yang paling bermasalah adalah bagi mereka yang mencari sesuap nasi saja susah, apalagi dipaksa memiliki smartphone dan melek teknologi.
Jika kebijakan tersebut tetap diberlakukan, tentunya akan memunculkan efek negatif terhadap masyarakat. Terutama dalam aspek ekonomi. Masyarakat Yeng belum bisa memenuhi persyaratan tentunya akan dirugikan dengan pemberlakuan kebijakan tersebut. Alih-alih mau merdeka dari krisis ekonomi, kebijakan tersebut malah makin memperburuk ekonomi masyarakat. Terutama bagi para buruh, pekerja lepas, dan para pedagang pasar. Bagi mereka pekerjaan tersebut adalah satu-satunya sumber rezeki dan nafkah bagi sanak keluarga, jika mereka hanya dibiarkan dirumah saja karena belum memenuhi persayaratan. Lantas, mereka akan mendapatkan sesuap nasi darimana?.
Padahal, melansir dari Kontan.co.id pada 10 Agustus 2021, WHO (World Health Organization) telah mewanti-wanti kepada seluruh negara di dunia untuk tidak menjadikan kartu vaksin sebagai syarat mutlak mobilitas masyarakat dimasa pandemi. Sebab, ada beberapa hal yang perlu ditinjau ulang. Pertama, vaksin belum terbukti 100% dalam mencegah infeksi covid-19. Yang artinya para masyarakat yang sudah divaksin belum bisa dipastikan terbebas dari inveksi covid.
Kedua, masalah akses, stok, dan suplai vaksinasi masih belum mencapai target. Ada beberapa di Indonesia yang masih rendah dalam program vaksinasi. Di antaranya, Aceh, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, NTB dan Maluku Utara. Daerah-daerah tersebut masih dalam kondisi memprihatinkan untuk masalah vaksinasi. Jadinya, jika kebijakan tersebut diberlakukan akan memunculkan ketidakadilan bagi daerah yang belum mencapai target vaksinanasi.
Seharusnya, pemerintah dapat mempertimbangkan ulang tentang pemberlakuan kebijakan tersebut, agar dampak buruk dari kebijakan tersebut dapat teratasi. Hemat saya, yang harus digalakkan saat ini bukanlah kebijakan tersebut. Melainkan program vaksinasi yang harus digencarkan untuk mencapai target 50% atau lebih dari jumlah penduduk masyarakat Indonesia. Serta, pemerintah juga harus mencari solusi yang tepat bagi golongan yang tidak dapat menerima vaksin. Seperti halnya mencari pengganti persayaratan kartu vaksin bagi masyarakat yang belum atau tidak bisa menerima dosi vaksin. Untuk tetap bekerja dan mencari nafkah.
Hal tersebut dilakukan guna meminimalisir dampak sosial yang disebabkan oleh pemberlakuan kebijakan tersebut. Sebab, jika tidak demikian kebijakan tersebut hanya akan membebani masyarakat, dan akan memunculkan konflik serta masalah baru yang berkelanjutan.
Kepekaan sosial pemerintah juga harus digunakan dalam menyikapi krisis ekonomi di masa pandemi ini. Kebijakan semacam itu, bukan hanya membatasi mobilitas masyarakat saja. Melainkan, akan mengebiri dan mempersulit masyarakat dalam mencari nafkah di masa pandemi. Bukanlah merdeka dari pandemi dan krisis ekonomi yang didapati, melainkan hal tersebut akan menjadi pemicu krisis ekonomi yang menjadi-jadi.
Jika beberapa pertimbangan di muka bisa terpenuhi, nyatanya kebijakan kartu vaksin akan menjadi kabar bahagia bagi masyarakat Indonesia. Selain meminimalisir lonjakan kasus covid, kebijakan tersebut juga akan menjadi babak baru bagi pemerintah untuk menanta kembali sistem pendidikan, pemerintah, dan perekonomian Indonesia. Agar menjadi lebih baik, tanpa harus mempersulit dan merugikani aktivitas masyarakat Indonesia.
Wallahu a’lam.
Pencinta biung