Now Reading
Nona-nona Berpesta

Nona-nona Berpesta

“Kali ketiga aku menuangkan sirop merah segar rasa stroberi ini padamu, Ni.”

“Ahh… iya, terima kasih, tidak terasa waktu selama satu jam kita habiskan untuk berbagi kisah yang penuh kasih tanpa sang kekasih …”

“Heheheh, dasar begini jadinya korban nikah muda, perjodohan pula hehehe, heeyy ingat ini bukan zaman Siti Nurbaya.”

“Bisa saja ini Prawan tua yang tak kunjung bertemu jodohnya heheh..”

Tawa pecah di meja bundar yang penuh gelas dan pernak-pernik pesta di dinding-dinding ruangan, pula sembari menikmati iringan diksi-diksi lagu Iwan Fals yang berjudul Kemesraan, sesaat sebelum Cut datang membawa kue kukis khas pesta dansa.

“Ah, Nona-nona cantik ini tampak asyik ngobrol rupanya,” ujar Cut sembari menyodorkan kue kukis satu persatu didepan lawan bicaranya.

“Terima kasih, kuenya sepertinya lezat, kau terlihat angun malam ini, Cut.”

Kartini menyomot satu kue dari Loyang yang dibawa oleh Cut, sembari memuji penampilannya pada malam hari ini, Cut yang dipuji hanya senyam senyum tersipu malu, memang malam ini Cut berpenampilan berbeda dari biasanya, gaun dres hijau muda dengan motif bunga kecil-kecil dengan Panjang menutupi mata kaki dan pergelangan tangan, pula krudung yang diselempangkan dilehernya membuatnya elegan dan anggun.

“ Eh … silahkan duduk Cut”

“Apakah kau datang seorang diri di sini? mana suamimu?”

Marsinah mempersilahkan duduk sembari membuka obrolan di meja bundar ini dengan ringan,

“Oh iya dia hanya  mengantarku saja lalu pergi, katanya tak mau mengganggu acara reuni Putri-putri Negeri ini.”

“Ahh.. tidak sama sekali padahal, lama sudah tidak berjumpa dengan suamimu Cut, bagaimana kabarnya?”

“Baik, lalu bagaimana dengan suamimu, Ni, kok tumben kamu tidak dipingit lagi sekarang,” ujar Cut sembari memberikan sedikit sindiran lalu menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Meja hening sepersekian detik lalu pecah tawa keluar dari mulut mereka, Marsinah yang memulainya disusul Cut dan Kartini tanpa perasaan tersinggung sama sekali.

“Kalian bisa saja. Tidak, dia tidak seburuk orang-orang kira, suamiku mendukungku untuk menjadi seorang guru disalah satu daerah Rembang sana.”

“Ah, suami-suami kalian memang benar-benar suami yang dapat disuamikan oleh kalian,” ujar Marsinah sembari menyeduh sirop digelas yang ia genggam.

“Kasihan sekali kamu Mar, belum usai kau menemukan pendamping, tapi yahh.. sudahlah namanya juga takdir,” ketus Cut.

“Begitulah, padahal sebenarnya aku masih ingin menikmati masa mudaku. Aku ingin seperti perempuan-perempuan dewasa di negeri kita, bermain Tiktok semisal,” ujar Marsinah dengan sangat ramah sembari mencairkan suasana yang sedikit pilu.

“Apa itu Tiktok?” Cut sedikit bingung dengan istilah yang baru saja ia dengar.

“Tiktok itu biasanya tempat orang menari-nari, namun bisa juga sebagai sarana edukasi tapi, dominan yaa menari-nari.”

Cut semakin bingung, menari-nari? tempat edukasi? Cut memang perempuan yang sungguh bodoamat dengan situasi dan lingkungan sekitar, bahkan Ketika sering kali mendapatkan cibiran yang kurang enak dari orang-orang di sekitarnya, perempuan harus seperti inilah, kau ini harus anggun, mana ada perempuan macam Cut akan tetapi ia selalu fokus dengan tujuannya, ia juga perempuan tangguh yang sulit ditaklukkan.

“Edukasi tentang apa, lalu Nari-nari adat maksudnya apa gimana?”

“Iya, tentang pengetahuan atau berita-berita juga ada, seperti kemarin lusa aku sempat sedikit mendengar simpati salah seorang selebriti tanah air yang rela menempuh jarak  Jakarta-Jember untuk menemui seorang bocah yang bernama Habib dan empat kawannya, dalam penggalan video tersebut ia menceritakan kunjungannya yang merasa miris akan kehidupan Habib dan kawan-kawannya yang tak merasakan nikmatnya bangku pendidikan, bahkan  ada beberapa yang menjadi tulang punggung guna menopang  kehidupan keluarganya, hingga tulang dan otot-ototnya terlihat jelas di tubuhnya yang kurus kerempeng.”

“Bukan hanya itu saja informasi yang aku dapatkan dari platform itu, kemarin lusa Aku mendapatkan pesan dari salah seorang kawan lamaku, ia memberikanku sebuah link yang berisi kabar pembunuhan dua sepasang kekasih yang dibunuh karena hendak menyelamatkan kekasihnya yang dengan teganya dicabuli di depan matanya, ia dihabisi di depan kekasihnya, anyir darah keluar dari tubuhnya yang lunglai hingga kedua matanya terpejam untuk selamanya, sesaat setelah kekasihnya dihabisi giliran korbanlah yang dibunuh agar kejadian ini tertutup rapat tanpa ada bukti, dan karena memang tidak ada bukti yang jelas kasus itu dibiarkan terbengkalai.”

Mereka bertiga terdiam di meja bundar yang masih dengan pemandangan kue kukis dan sirop merah di atasnya, lamat-lamat mata Kartini mulai sembap, diusaplah isak Kartini sebelum jatuh dari matanya.

“Apakah hal tersebut adalah kisah nyata Mar?  bukan fiktif atau setingan belakang. ”

“Jika hal itu benar aku tidak akan tenang Kembali ke alamku,” ujar Kartini dengan nada sedikit cemas.

“Begitupun aku bingung memikirkan persoalan ini, aku juga bingung harus berbuat apa lagi Ketika hendak berkunjung ke negeri ini, bahkan aku juga selalu bingung hendak akan pulang ke alam mana karena masih belum diketahui pastinya aku ini berasal dari mana, ahh aku selalu bingung,” ketus Marsinah dengan nada sedikit berpikir.

“Sudahlah kawan-kawan jangan merasa terbebani, misi kita telah usai aku juga seorang Cut Nyak Dien, siapa pula yang tidak kenal aku seorang pahlawan yang fotonya dipajang di dinding-dinding sekolah menengah dasar hingga menengah atas, tetapi apa yang bisa kita perbuat sekarang, kita tidak bisa melakukan apa-apa, kita hanyalah sebuah dongeng sekarang bagi mereka, kau hendak melakukan apa sekarang? Heyy Maret, tidak mungkinkan kau menuntut keadilan dengan berorasi? dan kau, Ni, tidak mungkin pula saat ini kau menulis dan tidak ada yang memberimu ruang untuk beropini.”

Mereka terdiam, meja bundar Kembali sunyi dengan keramaian pesta yang masih diiringi lagu kemesraan.

“Baiklah mari kita lanjutkan pesta.” suara Marsinah terdengar datar.

Mereka mengangkat gelas tinggi lalu dijejerkannya gelas-gelas mereka hingga menghasilkan bunyi, mereka melanjutkan pestanya yang tertunda, pesta dimulai kembali  dengan iringan  sebuah kecemasan.

 

penulis: Alya Latifatul

editor: Haikal

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top