Perempuan Mengakuisisi Keadilan
Bicara mengenai perempuan banyaklah definisi yang diambil dari kata seorang perempuan. Perempuan banyak dilihat sebagai makhluk yang selalu lemah, makhluk yang selalu dinomorduakan. Tetapi pada hakikatnya seorang perempuan memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, mereka mampu melakukan segala hal, dalam melakukan banyak hal, jenis kelamin tidak relevan sebagai ukuran.
Menjadikan jenis kelamin sebagai ukuran sering kali menimbulkan banyak ketidakadilan gender. Nah, sebelum kita masuk dalam membahas mengenai ketidakadilan gender, alangkah baiknya kita kenali dulu apa itu gender. Menurut Elaine Showalter dalam mendefinisikan gender lebih dari sekedar perbedaan laki-laki dan perempuan, gender juga dilihat dari konstruksi sosial budaya.
Gender merupakan sebuah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi non-biologisnya atau yang berkaitan tentang peran, sifat, dan perilaku seorang perempuan dan laki-laki yang mana peran, sifat, dan perilaku tersebut dapat dibangun secara sosial dan kultural. Sedangkan jenis kelamin merupakan sebuah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi biologisnya yang mana perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan sangatlah menonjol, misalnya seorang perempuan dapat memiliki siklus hormon yang lancar berupa haid setiap bulannya, sedangkan seorang laki-laki tidak akan memiliki siklus hormon tersebut.
Jadi dapat disimpulkan bahwasanya antara gender dengan jenis kelamin sangatlah berbeda, jika jenis kelamin kita bisa melihat hal tersebut dari segi biologisnya seperti perbedaan alat kelamin, perbedaan bentuk tubuh. Sedangkan gender kita dapat melihat perbedaan laki-laki dan perempuan dalam segi sosial budayanya, sifat, peran, dan perilakunya. Orang-orang banyak mendefinisikan antara gender dengan jenis kelamin itu sama, padahal hal tersebut sangatlah berbeda.
Melalui sudut pandang seorang perempuan ketidakadilan gender yang menyangkut pautkan seorang perempuan memang hal tersebut benar-benar terjadi, banyak sekali hak-hak perempuan yang tidak diperoleh dengan secara adil dan setara, namun perempuan juga tidak boleh menyalahartikan bahwasanya adil yang dimaksud ini harus sama semua dengan laki-laki, misalnya jika seorang perempuan sudah menikah dan ditinggal meninggal oleh suaminya maka perempuan tersebut jika ingin menikah lagi maka harus menunggu masa idah selama empat puluh hari, namun jika seorang laki-laki yang ditinggal meninggal oleh istrinya maka laki-laki tersebut tidak diperkenankan untuk menunggu bahkan jka sekarang istrinya meninggal, laki-laki tersebut keesokan harinya ingin menikah juga diperbolehkan. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengapa jika laki-laki diperbolehkan menikah sehari setelah istrinya meninggal? Di samping itu, mengapa jika seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya harus menunggu selama empat puluh hari? Bukankah hal itu sepintas merupakan ketidakadilan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut jika dilogikakan memang tidak adil, tetapi keadilan gender yang diperjuangkan aktivis-aktivis perempuan itu tentu mengenai keadilan (equity) bukan lagi kesetaraan (equality) jadi jika permasalahannya mengenai tentang boleh tidaknya perempuan dan laki-laki dalam hal menikah setelah ditinggal meninggal oleh suaminya, maka hal tersebut menurut pendapat saya sudah melenceng dari makna perjuangan keadilan gender yang diperjuangkan oleh perempuan, karena gender jika dalam ranah hukum, sosial, dan budaya, itu jika memang dirasa tidak tepat dan terjadi diskriminatif terhadap perempuan itu memang dapat diubah, namun apabila dalam hal agama—Islam, misalnya, dan dirasa dalam agama terdapat hadist-hadist yang berkaitan mengenai gender itu memang masih dipertanyakan tentang kebenarannya maka hal tersebut juga dapat diubah tetapi tentu dengan mengkaji dan meneliti dengan benar sumber-sumbernya, tidak cukup selalu menyimpulkan kesalahan tafsir semata.
Setelah berbicara mengenai kesetaraan gender menurut pendapat perempuan, mari juga berbicara keadilan gender menurut perspektif kaum laki-laki mengenai kesetaraan gender. Ada yang berpendapat bahwasanya memang benar mendukung adanya perjuangan perempuan mengenai kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan, namun ada juga yang berpendapat bahwasanya, “mengapa para kaum perempuan masih memperjuangkan kesetaraan dengan laki-laki, sedangkan wanita dari zamannya Rasullah saja sudah dijadikan sebagai kaum yang sangat dimuliakan, apakah hal tersebut masih dirasa kurang setara dengan kaum laki-laki?”
Pendapat-pendapat tersebut menurut saya ada yang benar dan juga ada yang kurang tepat, jadi mengapa kaum perempuan masih memperjuangkan kesetaraan dengan kaum laki-laki sedangkan dari zaman Rasullah saja para kaum perempuan sudah dimuliakan? Perjuangan perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan gender itu dimulai dari masuknya abad ke 19 di Eropa, saat abad tersebut para perempuan banyak merasakan hak-hak kebebasannya telah dibatasi baik secara sosial, budaya, maupun dari segi pendidikan, politik dan masih banyak lagi.
Oleh karena itu muncullah berbagai masalah ketidakadilan gender pada saat itu, namun jika mengaca dari kehidupan dahulu di mana ketidakadilan gender sering terjadi di mana-mana, dan begitupula dengan zaman sekarang, meskipun sudah modern. Perempuan sudah mengalami kebebasan dalam memilih sesuatu yang ingin dilakukannya, meski masih ada beberapa kultur kolot di masyarakat yang masih membatasi gerak perempuan, misalnya: perempuan tidak boleh untuk keluar malam, perempuan tidak boleh untuk bekerja, perempuan tidak boleh ini itu dan lain sebagainya, kita ambil satu contoh, sebenarnya jika perempuan tidak diperbolehkan untuk keluar malam itu memang ada alasannya karena nanti takut dijahati oleh orang lain atau bahkan takut dilecehkan oleh orang. Kekhawatiran yang seperti itulah yang menimbulkan dilarangnya perempuan untuk keluar malam.
Kita harus melihat konteksnya terlebih dahulu dan mengubah cara pandang, perempuan tersebut keluar malam karena untuk bekerja atau karena dia memang hanya untuk sekedar bersenang-senang (hiburan malam), lalu jika sudah diperbolehkan keluar malam bagaimana tanggapan masyarakat mengenai hal tersebut yang sudah menjadi anggapan bahwasanya jika perempuan sudah keluar malam akan dianggap sebagai wanita “nakal”, bagaimana caranya memberikan pemahaman bagi masyarakat konservatif bahwa tidak semua wanita yang keluar malam itu hanya melakukan hal-hal yang tidak benar? Dari hal ini kita bisa merumuskan solusinya.
Jika ada permasalahan seperti itu maka menurut pendapat saya cara mengatasinya kita mulai dari keluarga kita sendiri. Kita harus memberi pemahaman kepada keluarga kita bahwasanya tidak semua perempuan yang keluar malam itu melakukan hal-hal yang buruk. Persepsi umum tentang perempuan yang keluar malam selalu dikonotasikan dengan hal negatif sungguh tidak relevan lagi untuk dijadikan sebagai cara pandang umum.
Saya akan memberikan satu contoh lagi mengenai ketidakadilan gender yang ada, contohnya di dalam lingkungan masyarakat saya itu masih ada beberapa yang melarang seorang perempuan untuk bekerja, dan menempuh pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Mereka selalu bilang bahwasanya kodrat seorang perempuan hanya “mapan, manak, macak, masak”, dan ada juga yang selalu berkata “lapo sekolah dukur-dukur nek akhire yo nang pawon”, menurut pendapat saya anggapan atau penilaian atau bahkan larangan tersebut itu bermakna jika nanti seorang perempuan bekerja, dan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi nantinya mereka akan lupa dengan kewajiban mereka sebagai seorang anak, sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu. Ini juga menjadi sebuah pelajaran bagi seorang perempuan jika sudah mempunyai pekerjaan atau bahkan sudah mempunyai jabatan yang lebih tinggi dari suaminya itu janganlah sekali-kali meremehkan suami kalian karena di dalam agama Islam sudah diterangkan bahwasanya seorang perempuan yang sudah menikah wajib patuh dan taat kepada suaminya, begitupun dengan suaminya jika kewajiban-kewajiban istri sudah dipenuhi dengan baik, maka beri hak-hak mereka dengan adil pula.
penulis: Dwi Nur Rahayu