PMII, Mari Mengarung Era Distorsi
“…maka PMII hadir 24 jam menjadi gerbong mahasiswa untuk mengantarkan sejauh keinginannya.”
Tahun 2018, Muhammad Nasir meneken Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 55, tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Kemahasiswaan di lingkungan kampus. Organisasi ekstra kampus seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan yang lainnya diperbolehkan masuk kampus. Artinya, PMII yang notabene adalah bagian dari organ ekstra tersebut mendapat angin segar untuk ikut melakukan serta mengoptimalkan kerja keroganisasian secara terbuka dan masif di internal Universitas. Atau dalam sisi lain, PMII yang secara historis mempunyai andil besar dalam mengawal ideologi bangsa mulai diakui komitmennya dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia—meski secara legalitas agak terlambat. Nasir mengatakan bahwa Permenristekdikti 55/2018 ini termasuk pada kebutuhan mendesak di semua kampus. Apalagi, belakangan ini fenomena-fenomena hoaks, anti-NKRI, intoleransi dan radikal di kampus kian menjamur.
“Peraturan dibentuk karena ada fenomena. Maka bagaimana nasionalisme itu kita bangun kembali,” jelas Nasir.
Terlepas dari itu, dengan slogan “Menjaga Toleransi dan Merawat Keberagaman”, tentu, Fakultas Ilmu Budaya manjadi bagian dari institusi pendidikan modern yang diharapkan dapat membersamai bangsa Indonesia dalam menyongsong kemajemukan dan persatuan serta segala jenis era perkembangan zaman. Hal itu perlu didukung penuh oleh mahasiswa yang benar-benar sadar akan posisinya. Mahasiswa yang inklusif, bergerak dinamis dalam mengikuti organisasi yang diikuti serta punya kesadaran kolektif dalam mengawal setiap kebijakan-kebijakan dan aktivitas kampus.
Dalam diskursus antropologi bahasa (antropolinguistik), ketika sebuah budaya masih eksis menjadi tradisi dan masih dipergunakan, maka ia menjadi suatu produk kebudayaan yang benar-benar dapat dirasakan nilai kebermanfaatannya. Begitupun juga dengan PMII, dari pertama berdiri tahun 1960 sampai hari ini, masih senantiasa istiqomah dengan tujuannya, yaitu membentuk pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Di era tantangan global dan segala jenis tuntutan kehidupan pasca perkuliahan, keyakinan bahwa menjadi mahasiswa adalah sebuah anugerah atau privillege melahirkan semacam pertanyaan; ciri apa yang membedakan antara mereka yang kuliah dengan mereka yang tidak kuliah? Apakah jaminan hidup mapan di masa depan? Maka Arum Sabil, si konglomerat Jember juragan tebu adalah satu pengecualian. Apakah kecerdasan? Maka Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, perusaan platform digital raksasa, yang kemudian mengakuisisi Intagram dan Whatsapp itu juga menjadi pengecualian.
Bagi saya, mahasiswa dicirikan sebagai kaum intelektual—dalam hal ini sekaligus menjadi pembeda—bukan karena pendidikan paling tinggi, tapi soal kesadaran dan kepekaaan serta proses berpikir. Mahasiswa melihat celah sebagai peluang, bukan inayah yang tiba-tiba turun dari langit. Mahasiswa melihat kesalahan sebagai sebuah solusi, bukan malah merundungi keadaan.
Maka, mahasiswa hari ini adalah satu kelompok masyarakat yang punya kesempatan untuk mengenyam empat butir pembelajaran abad 21, yang terdiri dari critickal thingking and problem solving, communication, creative, dan collaborative. Serta memperhatikan empat penampilan: 1) Penampilan pengetahuan; 2) Penampilan fisik; 3) Penampilan komunikasi; dan 4) Penampilan etika. Berangkat dari itu, maka PMII hadir 24 jam menjadi gerbong mahasiswa untuk mengantarkan sejauh keinginannya.
Salam pergerakan!!!
Jember, 17 Oktober 2021.