Puisi-puisi Alfiatul Hasanah
Kusebut apa?
Yang menetes
Yang jatuh
Yang mengguyur
Sudah pasti disebut hujan
Lalu apa namanya yang menetes dalam kalbu mengetuk pintu dalam jiwa pendosa yang berdiri di ujung lorong gelap tanpa obor. Berdiri sendiri memaki diri menangis tersedu-sedu, kembali pun tak bisa tak ada jalan pulang; buntu.
Lalu disebut apa mereka yang berjibaku dalam lumpur mewangi bau busuk tangis darah. Dibersihkan hingga mengkilap namun menyisakan jejak kemerahan disela-sela semen keramik. Yang tetesan air matanya masih mengalir merembes perlahan menyentuh tanah.
Lalu disebut apa mereka yang berdiri dengan kesombongannya menolak mereka yang dianggap tak suci kehadirannya, yang bahkan dianggap bukan golongan dari mereka. Satu jenis, namun memiliki kelompok masing-masing, keahlian pun tak punya selain merendahkan manusia lainnya.
Lalu disebut apa mereka yang bahkan hanya menganga tidak tahu apa-apa. Diinjak, dihantam, dicaci-maki sedemikian rupa tanpa tahu salahnya di mana. Tumbuh kebencian untuk diri sendiri mengapa terlahir dari mereka yang dianggap tak suci yang dipandang jijik satu negeri.
Lalu kusebut apa yang menghilang ditelan bumi, yang banyak dicari, yang bahkan jejak kakinya tak terlihat disudut bumi, yang suaranya dinanti-nanti, yang kehadirannya hanya lewat mimpi.
Lalu kusebut apa mereka yang menangis setiap hari, menunggu dipojok latar rumah ditemani sepi, ke sana-kemari tak kunjung menemukan temu. Yang menghilang, membekas di ingatan.
Lalu kusebut apa mereka yang bahkan berdiri tanpa dosa. Membunuh bahkan menghilangkan mereka yang tak bersalah. Hatinya tak goyah mendengar ratapan hati Ibu yang merindukan bau keringat jilatan matahari anaknya. Mereka tetap pongah, meski tahu kedudukannya tidak lebih menjijikkan dari tai hewan yang berceceran tak mendapat perhatian.
Mereka yang tak tahu apa-apa, tak bersalah, hanya lahir di dunia. Menerima kata kasar, pedas, kebencian dengan berwarna-warni bentuknya. Satu dua orang berdiri memantapkan hati bahwa suatu hari –yang bahkan tidak tahu kapan akan terjadi– akan ada yang namanya keadilan. Kebebasan setiap manusia tanpa bersinggungan dengan kejadian lama yang memporak-porandakan hati bahkan seisi negara.
Banyuwangi, 11 Januari 2022
Pesan(an) Malam Itu
Aku mengangkat tangan, seorang pelayan datang dan bertanya,
“mau pesan apa, kak?”
“sepiring hati”
“minumnya?”
“darah”
Tangannya sibuk mencatat. Sebelum itu,
dia memastikan pesananku, mengangguk dan berlalu.
Malam itu, hujan sangat berisik. Dia terus berteriak
meminta tolong untuk diselamatkan. Terlalu sakit
baginya untuk terus-terusan menghantam bumi yang
begitu keras. Jika saja aku bisa dan mampu memberinya
kasur, pasti sepanjang Sumatera-Merauke tak bisa
digunakan oleh pengguna jalan.
“Pesanannya, kak,” katanya sambil menyuguhkan
sepiring hati dan segelas darah, yang disusul
pisau dan garpu. Sepertinya sendok tak mempersilahkan
kelembutan dalam suapanku malam itu.
Kuucap terima kasih telah menyuguhkan dengan rapi
hingga tak kusadari. Hati yang di piring telah tersayat
dua kali, sedang darah menetes, gelasnya retak
bagian bawah. Hari itu bukan keberuntunganku.
Aku tak sanggup apabila melayangkan protes pada pelayan.
Dia hanya bekerja, jika aku semprot hilang sudah pekerjaannya.
Kulayangkan senyum, aku tak akan ke sini lagi batinku.
Jember, 14 Mei 2023