Now Reading
RAMADAN

RAMADAN

(Ruang mesrA Manusia dengAn Dunia dan akhirAtNya)

 

Ramadan sering kali memanjakan para penggemarnya, lebih-lebih terhadap kaum muslimin yang hobi mengumpulkan pundi-pundi pahala, tetapi di tulisan yang semoga bermanfaat ini  saya  sedang tidak membahas tentang fadhilah ( keutamaan) serta amaliyah (amalan) di bulan Ramadan berkah ini, iya benar, mengingat saya bukanlah seorang Musyrifah yang pandai berdalih mengesensialkan dalil-dalil aqli maupun naqli. Bicara tentang bulan ini Ramadan karim kita telah rampung dan hendak bersiap-siap pulang kampung, bulan yang sangat so sweet dengan umat, bulan yang magis seperti takjilnya yang manis, memperbanyak amalan-amalan sunah yang jarang dilakukan dibulan-bulan lainnya, guna memudahkan umatnya memanen ganjaran, serta melipat gandakan pahala si hamba ketika berbuat baik namun tidak melipatkannya  ketika ia berbuat buruk, padahal subjeknya sama-sama si hamba dan objeknya sama-sama perbuatan, sungguh romantis bukan?

Mungkin Sayyidina Umar ra. tersenyum sejuk di atas sana, Ketika melihat umat bagindanya sedang asyik menunaikan ibadah tarawih yang digagas oleh beliau  (meski ada beberapa oknum-oknum  yang berlindung di balik kata Bid`ah, “Orang-orang itu sesat!” sembari menunjuk-nunjuk dengan jemarinya). Bagaimana episode malam-malam yang dipenuhi oleh sandal-sandal yang mengantarkan pemiliknya menjemput pahala lalu diletakkan berjejeran dirembah serambi masjid, merupakan suatu pemandangan yang hampir punah ditemui pada selain bulan suci, serta di waktu sore menjelang berbuka, ketika tiba-tiba senja berlari-larian kecil untuk pulang menuju arah kiblat atau barat, suara lantunan ayat suci seorang bocah nyaring dengan mikrofon serta toa masjid yang dapat didengar satu kampung dapat menemani aktivitas-aktivitas mereka menjelang berbuka, secara tak sadar diam-diam mereka telah mendapatkan pahala dari mendengarkan ayat suci, karena berkat si bocah yang membantunya mengais pahala, lagi-lagi hanya terjadi  di bulan suci, bulan dengan seribu kebajikan dan keajaiban!

Bahkan ada suatu cerita tentang seorang Ulama yang berasal dari kota Tarim ( kota seribu wali, kota yang didambakan umat nabi, kota syahdu serta candu bagi hambamu Ya Rabb) yakni Habib Muhammad Jamalullail ketika Ramadan datang beliau tidak ingin membaca Al-Quran tapi bukan tanpa sebab, mengingat beliau adalah seorang ulama yang tidak pernah meninggalkan bahkan sebaris ayat Al-Quran, dawuhnya ketika beliau membaca Al-Quran di bulan Ramadan kedua bibirnya terasa manis seperti madu dan kurma yang mengalir dari kedua  bibirnya, lalu beliau putuskan untuk tidak melanjutkan membaca Al-Quran karena takut manis serupa madu itu membatalkan puasanya, kenikmatan tersebut memang tak dapat dirasakan oleh semua umat, tetapi hanya beberapa atau sebagian dari umat baginda Nabi, namun dari segelintir kisah yang tak dapat kita rasakan itu, kita akan mendapatkan substansi kenikmatan Ramadan yang sebenarnya dibalik embel-embel: “karena kita harus belajar menahan diri dari hawa nafsu, kita akan mendapatkan ganjarannya,” ujar manusia yang selalu meminta lebih dari sesuatu yang telah ia lakukan.

Nikmat Ramadan akan terasa jika kita sesekali bertafakur serta bermuhasabah, sedikit-sedikit saja, sederhana saja, tak usah berlebihan, resapi dalam-dalam bagaimana makna seseorang dari jauh-jauh hari telah menyiapkan beraneka ragam menu berbuka serta takjil di pikirannya, para pedagang kaki lima menyiapkan dagangan terbaiknya agar dinikmati oleh pembeli dibulan suci, remaja masjid yang berbondong-bondong membersihkan masjid hingga sela-sela ventilasinya, guna nyaman untuk dibuat beribadah, pula para musisi tanah air yang berlomba-lomba menciptakan lagu untuk menyambut bulan suci Ramadan ini, jika dianalekta dengan semua bulan-bulan yang terdapat di kertas penanggalan, bulan manakah yang dapat menandingi kearifan bulan Ramadan tersebut.

Hingga Ramadan akan rampung pemandangan yang sering bahkan lumrah terjadi di pengujung malam 27,28 serta 29 Ramadan, sesekali manusia tersenyum puas tak sabar menunggu malam-malam yang dipenuhi suara beduk-beduk takbir yang menandakan Ramadan telah terbenam dan akan diganti dengan waktu bermaaf-maafan, merayakan kemenangan dan baju lebaran serta menyiapkan hidangan bakwan hingga biskuit Khong Ghuan di meja makan, padahal mereka ketahui dengan sadar bahwa ladang untuk bercocok tanam pahala telah kering kriting dan harus menunggu musim subur selanjutnya. Ya, waktunya satu tahun mendatang, itupun jika Tuhan masih mengizinkan bertemu.

See Also

 

Penulis: Alya Latifatul

ilustrasi: Cindy

View Comments (0)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll To Top