Review Buku: Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan
Mata Pena adalah media sosial informasi di bawah pengelolaan Badan…
Judul : Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan
Penulis : Soe Hok Gie
Penerbit : Mata Bangsa
Tahun Terbit : 2017
Halaman : 360
Tan Malaka pernah berkata “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”, artinya ketika berbicara pemuda haruslah ia bersikap “idealis”. Dalam buku Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan karya Soe Hok Gie ini sangat menarik untuk dibaca. Buku ini menceritakan pemuda dan revolusi, pemuda-pemuda yang menginginkan adanya revolusi bukan hanya sebagai kemerdekaan atau kedaulatan, tetapi revolusi sebagai kebebasan yang membawa pada ‘kenikmatan’.
Pemuda-pemuda Indonesia seakan terburu-buru karena semangatnya yang menggebu akan revolusi. Namun, jiwa revolusi ini selalu dikaitkan dengan politik. Seakan mereka yang tak paham politik maka akan dicap bahwa ia tidak memiliki jiwa revolusi. Membayangkan Indonesia sesuai dengan idealis pemuda dan bercerita bagaimana keadaan Indonesia jika bercorak Sosialis dilakukan pemuda dengan memberi ‘ceramah’ di tongkrongannya agar memberi kesan bahwa pemuda harus berintelek agar mencapai revolusi ala idealisnya.
Tetapi, bagaimana bisa seorang pemuda itu dikatakan intelek padahal baru saja ia mendapat pengertian dasar mengenai komunis-sosialis lalu mengamini semua yang didengarnya tanpa tau seluk-beluk apa yang ada di dalamnya?
Idealisme dan revolusi tidak salah, namun bagaimana penerjemahan pemuda terhadap kedua kata ini seakan-akan mereka mempunyai tanggungan yang besar atas revolusi yang mereka ciptakan. Toh, lebih banyak yang tidak mengerti dan merasa termaginalkan dalam situasi revolusi yang carut-marut. Ingat kejadian zaman dulu yang memunculkan satire-satire politik yang dimana kaum pemuda menggebu-gebu mendeklarasikan revolusi dengan anti Belanda, dan membunuh siapa saja yang memakai merah-putih-biru sebagai baju, kaos, atau warna sandal, penamparan penumpang yang dianggap tidak patuh pada aturan revolusioner, atau bahkan para perempuan yang memukul seorang Ibu tua sebab dianggap mata-mata karena melarikan diri pada saat digeledah. Padahal, ibu tua tersebut adalah seorang bodoh yang datang dari desa.
Namun, apa yang terjadi? Pemuda-pemudi ini bangga akan tindakannya karena mengemban tugas revolusioner sebagai pencegah mata-mata yang nahasnya korban adalah berstatus ‘anggapan’ tanpa ditinjau lebih jauh bukti apa yang menunjukkan jikalau mereka adalah mata-mata. Sekali lagi, pemuda-pemuda yakin bahwa mereka lah “surga” rakyat. Keadaan ini tercermin dalam sebuah lagu Darah Rakyat yang populer pada September 1945 namun dilarang di beberapa daerah karena dianggap menghasut akibat adanya Peristiwa Tiga Daerah sebagai revolusi dalam revolusi.
Darah rakyat masih berjalan
Menderita sakit dan miskin
Pada datangnya pembalasan
Kita yang menjadi hakim
Hayo, hayo bergerak sekarang
Kemerdekaan tlah datang
Merahlah panji-panji kita
Merah warna darah rakyat
Merah warna darah rakyat
Kita bersumpah pada rakyat
Kemiskinan pasti hilang
Kaum kerja akan memerintah
Dunia baru tentu datang
Revolusi merubah semua menjadi baru seperti Pramoedya Ananta Toer yang melukiskan bagaimana seorang Ayah dibunuh oleh putranya hanya karena Ayahnya setia pada Hindia-Belanda. Atau Bung Tomo yang merasa berdosa karena menikah di sela-sela revolusi yang menyebabkan ia berjanji tidak akan pernah melakukan kewajiban sebagai suami istri sampai revolusi ini terwujud. Pemuda-pemuda puritan ini beranggapan bahwa perkawinan adalah adat feodal dan mengutamakan kepentingan pribadi. Terlepas dari feodal dan keabsahan suatu pernikahan, pemuda-pemuda ini berperspektif bahwasanya diperlukan permisif mengenai kebebasan dalam berseksual. Konsep ini yang mengakibatkan seks bebas merajalela dengan dalih barangsiapa yang melakukan seks bebas maka ia adalah seorang revolusioner.
Menjadi refleksi diri, bagaimana seharusnya revolusi itu diwujudkan? Kenyataannya dari berbagai pertempuran yang dilalui Indonesia seperti, pertempuran Surabaya, Tangerang, Bandung terlihat jelas sekali bahwa golongan-golongan tua yang berkuasa dan memegang kendali.
Selain itu, Agresi Militer Belanda I menjadi tamparan bagi pemuda yang kalah cerdik dengan Belanda sebab dengan mudahnya masuk ke Indonesia. Beberapa pemuda menganggap kemerdekaan tidak lagi dirasa nikmat bahkan menjadi polemik dan timbul etnosentrisme sehingga menimbulkan sayap kiri maupun sayap kanan bersemi dalam sanubari pemuda-pemuda Indonesia tahun 1947.
Oleh: Sahabati Icha (19)
Mata Pena adalah media sosial informasi di bawah pengelolaan Badan Semi Otonom Media Informasi (BSOMI) yang mewadahi tulisan para kader PMII, khususnya Rayon Ilmu Budaya Universitas Jember. Sebuah media alternatif dengan konten literasi yang beragam namun, tetap terkupas melalui sisi pergerakan. Rayon PMII Ilmu Budaya dengan basis pengetahuan sastra, seni, dan budaya tentu tidak akan jauh dan lepas dari wacana tersebut. Tiga kunci yang menjadi modal dasar kaderisasi dan pengembangan kader. Oleh karena itu, Mata Pena hadir sebagai sarana media literasi. Salam literasi! Salam Pergerakan!