Sambatan untuk Dosen yang Mewajibkan Mahasiswa Ikut Webinar(nya)
Suka dan memang sering kesepian
Pandemi membuat seminar daring (webinar) semakin marak diadakan. Di samping karena mudahnya pelaksanaan—tanpa ribet mencari tempat dan lain-lain, jangkauan webinar juga lebih luas. Sebagaimana perkara lainnya dalam hidup, ada positif dan negatif, pun demikian perkara webinar ini. Positifnya adalah semua orang dapat menimba ilmu yang diminati dengan lebih mudah, murah, bahkan gratis. Negatifnya, fenomena webinar ini dipakai oleh banyak oknum dosen untuk “mempersolek diri”.
Ya, mempersolek diri. Akhir-akhir ini banyak dosen yang “menganjurkan” mahasiswanya untuk ikut webinar yang diadakan olehnya, atau komunitasnya. Saya sangat sadar akan “niat baik” tersebut, yaitu untuk mengarahkan mahasiswanya agar mendapat wawasan lebih. Tapi, embel-embel yang dipakai sungguh membuat tak nyaman: tugas resume. Jadi, “anjuran” itu sebenarnya adalah “perintah”.
Webinar-webinar tersebut kebanyakan dilaksanakan di akhir pekan. Ya, hari untuk istirahat mengerjakan tugas. Di hari yang agak bebas tersebut, seharusnya kami tidak begitu terbebani dengan kewajiban. Tapi, nyatanya, saat perkuliahan, ada wahyu yang keluar dari mulut mulia beliau-beliau, “Besok Sabtu saya mengadakan webinar. Saudara diharap untuk mendaftar dan mengikuti webinar tersebut. Dari webinar tersebut, silakan Saudara membuat resume dan dikumpulkan melalui LMS.”.
“…Webinar-webinar tersebut kebanyakan dilaksanakan di akhir pekan. Ya, hari untuk
istirahatmengerjakan tugas…”
Untuk membuat alasan yang masuk akal walaupun sebenarnya tidak bisa diterima sama sekali, biasanya ada embel-embel lagi, “Ini demi kebaikan Saudara. Agar Saudara lebih memahami dan memiliki wawasan yang luas.”
Padahal, suuzan saya, maksud di balik kalimat tersebut adalah, “Anda harus mendaftar dan ikut. Agar peserta di webinar saya terlihat banyak. Dan ramai peminat” (Hussss!)
Maaf, tadi itu keceplosan. Heuheu.
Sekarang, mari menimbang…
Webinar-webinar tersebut, seringkali mengambil tema yang tidak diminati sebagian mahasiswa, dan terkadang juga tidak relevan dengan materi perkuliahan. Melakukan hal-hal yang tidak disukai sama seperti mendapat siksaan. Membosankan. Dipaksa mengikuti webinar yang tidak diminati, dan bahkan tidak berkorelasi sama sekali dengan perkuliahan. Tetapi hal itu diwajibkan, karena penyelenggaranya adalah dosen sendiri.
Ini pemaksaan. Merenggut hak mahasiswa untuk memilih pengetahuan yang diminati. Kebebasan kami direnggut! (sih, kok sok keras, ya, saya. Haha)
Fenomena semacam ini sebenarnya juga pernah terjadi dalam perihal vaksinasi. Memang tidak ada kata “wajib”, tetapi embel-embelnya adalah sertifikat vaksin dijadikan persyaratan berbagai hal. Persis kasus webinar tadi. Tidak ada kata wajib, tetapi ada embel-embel tugas, yang itu berarti berpengaruh pada nilai. Sementara nilai adalah emas yang ditambang para mahasiswa, setidaknya kebanyakan begitu.
Dalam kasus vaksinasi, sebenarnya ada etika yang dilanggar, yaitu autonomy. Etika autonomy seharusnya membebaskan warga untuk bebas memilih antara divaksin atau tidak. Namun, pandemi yang menggila membuat etika ini dengan terpaksa harus dilanggar. Semua warga wajib melakukan vaksinasi. Demi kebaikan bersama: membentuk kekebalan komunal.
Jika etika yang dilanggar untuk penanganan pandemi ini dibawa ke ranah yang kita bahas, tentu tidak relevan. Di luar perkuliahan, mahasiswa bebas memilih pengetahuan apa yang ingin didapat. Tetapi, sepertinya tidak perlu sampai memaksa seperti itu, dan tidak bisa diamini. Sebab, saya kira keadaan para mahasiswa tidak sedemikian gawat seperti pandemi. Jadi, etika yang berlaku seharusnya tetap etika normal.
Oke, memang mahasiswa harus sendiko dawuh terhadap dosen. Tapi, ini kan di luar hari perkuliahan. Bukan juga pergantian jadwal kuliah. Seharusnya, hal tersebut tidak dijadikan paksaan yang berkedok kepedulian terhadap wawasan mahasiswa.
Di waktu mahasiswa bisa mengembangkan hobi dan bakat, justru dipaksa mengikuti kegiatan yang tidak diminati sama sekali. Kalau boleh, saya menyebutnya dengan “buang waktu sembarangan”. Apalagi, jam kuliah terpotong untuk promosi webinar tersebut—ada juga yang mengakhiri perkuliahan lebih awal, atau mengganti jadwal dengan dalih “mempersiapkan webinar”.
“…Kalau boleh, saya menyebutnya dengan “buang waktu sembarangan”…”
Pada akhirnya, memaksa ikut webinar ini justru memperburuk keadaan mahasiswa. Tentu yang didapat tidak maksimal karena tidak tertarik dengan tema yang diangkat. Itulah mengapa saya menyebutnya dengan “mempersolek diri”: mengadakan webinar dengan banyak peserta, tetapi sebenarnya adalah “webinar kosong”. Semacam acara dengan penonton bayaran, tetapi lebih buruk. Kalau saya boleh meminjam istilah Pak Faisal Aminudin, oknum-oknum dosen seperti ini tak lebih adalah “akademisi salon”.
Eittts, tetapi sebagai mahasiswa yang baik, tentu kita harus tetap sendiko dawuh. Lebih baik menganggap webinar yang dipaksakan ini sebagai acara dengan penonton bayaran. Anggap saja posisi kita adalah penonton bayaran. Kita ikut meramaikan webinar yang digelar, lalu mendapat bayaran. Namun, bayarannya bukanlah uang, melainkan nilai. Kita anggap tugas yang harus dikerjakan adalah pengganti bersorak-sorak dan tepuk tangan para penonton bayaran.
“…Anggap saja posisi kita adalah penonton bayaran…”
Eh, tapi sebentar. Penonton bayaran kan tidak memiliki konsekuensi saat tidak menjadi penonton bayaran. Konsekuensinya hanya tidak mendapat uang. Dan itu tidak masalah, bisa mencari uang dengan cara lain. Kalau perkara webinar ini, tidak mengikuti konsekuensinya adalah tidak mendapat nilai. Padahal, kekurangan nilai adalah momok menakutkan bagi mahasiswa. Hmmm…
Ah, terserah, lah. Pikir sendiri saja. Saya mumet.
Suka dan memang sering kesepian