Sebuah Curhat Tentang Ketakutan Laten

Dulu, ada beberapa temanku yang ingin sekali mendaftar jadi pengurus BEM. Badan Eksekutif Mahasiswa, bukan Badan Event. BEM adalah salah satu organisasi kampus yang cukup kece dan bonafid. Selain dianggap mewakili kepentingan dan suara mahasiswa, BEM acapkali dituntut punya proyeksi perubahan dan gebrakan yang visioner.
Berhubung salah satu persyaratan yang harus dipenuhi pendaftar pengurus BEM adalah surat rekomendasi dari BEM Fakultas, dan jika di Fakultas tidak ada BEM –atau lebih tepatnya ada tapi sekarang ditiadakan, sebab katanya, pernah terjadi konflik, dan sampai sekarang, setiap tahun mahasiswa-mahasiswa tua menurunkan ketakukatan laten agar adik-adiknya menjaga jarak dengan apa-apa yang berbau BEM—boleh diganti dengan surat rekomendasi dari ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Simpelnya begini, saya adalah mahasiswa Sastra, dan kebetulan di Fakultas saya tidak ada BEM, jika saya ingin daftar BEM, maka saya harus minta surat rekomendasi dari HMJ saya sebagai gantinya.
Seiring berjalannya waktu, teman-teman sejurusanku yang awalnya punya minat untuk mendaftar BEM, semuanya mengundurkan diri. Hanya tersisa satu cewek. Saya tidak tau penyebab konkritnya. Temanku cewek yang satu ini tetap mengikuti rangkaian seleksi, dan akhirnya, ia lolos menjadi pengurus BEM.
Ternyata, berbarengan dengan seleksi pengurus BEM, temanku ini juga ditawari untuk menjadi pengurus HMJ. Sejenis ikatan-ikatan formal pada umumnya. Dan ternyata, ia juga lolos menjadi pengurus HMJ. Dalam keyakinan Tionghoa, hal ini bisa saja disebut hoki.
Surat Keterangan (SK) resmi pengurus keluar, dan temanku ini menjadi ketua di salah satu divisi. Namun ternyata, tanpa sebuah alasan yang jelas, temanku ini direshuffle dari kepengurusan—katanya sih sudah kesepakatan antara kedua pihak antara temanku dan ketua HMJ pada waktu itu– dan katanya, atas instruksi aliansi. Oh iya, di Fakultas saya ada semacam aliansi yang terdiri dari “perwakilan sevisi” masing-masing HMJ dan UKM, aliansi ini punya power yang cukup besar untuk mengatur dan menggerakkan berbagai macam arah atau sikap UKM dan HMJ. Aliansi yang sampai saat ini belum saya ketahui di mana letak dasar hukum dan legalitasnya, alih-alih didirikan sebagai bentuk dari sikap terpelajar, sepertinya aliansi ini lebih cocok disebut sebagai gerombolan domba yang hanya melanggengkan pemikiran-pemikiran konservatif.
Yang aku tahu, temanku ini direshuffle, namun dia tidak tau kesalahannya di mana. Beberapa hari selepas kejadian itu, aku akhirnya memberanikan diri untuk mengajak temanku ini ngobrol empat mata di sebuah warung kopi. Awalnya ia menolak, tapi setelah mengalami negosiasi yang panjang dan proses saling meyakinkan, ia akhirnya mengiyakan.
Dia menceritakan banyak hal, termasuk cerita yang aku butuhkan kejelasannya, yaitu, tentang mengapa dia akhirnya memilih mengalah untuk direshuffle. Padahal, katanya, dari awal ia sangat berharap untuk berada dalam posisi kepengurusan divisi tersebut. (Sebelumnya, saya minta maaf yang sebesar-besarnya kepada temanku ini. Saya tidak mampu untuk mengabulkan agar ceritanya tidak dipublikasikan. Maafkan aku. Ini demi kemaslahatan bersama, agar kita sama-sama tahu dan tidak kembali mengulang cerita yang sama. Bukankah termasuk bodoh, orang yang jatuh dua kali dalam lubang yang sama?)
Ia menceritakan bahwa ia pernah, dalam suatu kesempatan, sesudah ia diketahui masuk pengurus BEM, ia pernah mendapat tekanan dari salah satu senior. Bunyinya kurang lebih begini “Jika kamu tetap melanjutkan kepengurusan di HMJ, hati-hati, kepengurusanmu satu tahun ke depan akan kuganggu.” Sungguh, tindakan represi yang kelewat kuno dan amatiran. Selain itu, ia juga sebenarnya tidak penah mendapatkan rekomendasi dari ketua HMJ untuk mendaftar BEM, alih-alih diberi bimbingan atau pencerahan, ia hanya mendapatkan larangan-larang tanpa alasan logis. Menjadi pengurus BEM adalah cita-citaku paling pertama ketika masuk kuliah, katanya dalam-dalam.
Hal yang dapat kita simpulkan dari cerita di atas menghadirkan satu pertanyaan mendalam, “emang kenapa sih kalo dia BEM, kenapa tidak boleh masuk kepengurusan HMJ, apa salah?”
Aku pernah mendengar cerita dari salah satu senior, FIB punya sejarah tak baik dengan BEM. BEM dibubarkan karena dianggap sudah terlalu politis dan hanya menjadi tempat sebagian oknum menernak bakat-bakat nepotis. Jika itu memang benar, lantas, apakah alasan itu dapat membenarkan untuk mengebiri keinginan mahasiswa-mahasisiwa yang ingin menjadi bagian dari BEM? Apakah –saya memutuskan untuk menyebut– dosa lama itu akan terus-menerus diingat dan dijadikan senjata paranoia untuk menakut-nakuti mahasiswa yang ingin berproses? Saya rasa, kita sama-sama dewasa. Sudah tidak lagi kekanak-kanakan dengan tetap membiarkan pemikiran kolot itu terus mendekam.
Terlepas dari itu, kebetulan saya adalah anggota dari salah satu organisasi ekstra kampus. PMII. Aku dan teman-temanku yang ingin berproses di satu organisasi intra– yang menjaga jarak dengan organisasi ekstra–, sudah pasti akan ditanya, “Apakah kamu ikut ekstra?, kamu harus memilih, organisasi ekstramu atau organisasi yang sekarang kau daftari ini,” ketika mendengar pertanyaan-pertanyaan semacam itu, saya kok merasa sedang menjadi anak PKI. Apa toh salahnya jika saya ikut organisasi ekstra sekaligus intra?
Saya pernah bertanya, dan orang-orang ini menjawab, khawatir ideologi yang saya dapatkan dan dipelajari di ekstra akan diindroktinasikan di intra. Saya juga tidak begitu tahu apa yang dimaksudnya sebagai ideologi. Bagiku, itu adalah alasan yang keluar dari pemikiran orang-orang yang sesat fikir.
Terkadang saya tidak sedang merasakan bahwa aturan itu dibuat sebagai upaya indepedensi dan agar tidak memecah porsi tanggung jawab ataupun fokus organisasi. Yang saya rasakan hanyalah, aturan itu dibuat hanya sebatas sebagai ketakutan laten dan kebencian belaka. Atau jangan-jangan hanya sebatas cemburu? Saya juga tidak tahu. Entah ini dirasakan semua orang atau tidak.
Yang pasti, saya berharap agar tidak ada sekat lagi antara intra dan ekstra, tidak ada lagi dikotomi yang dianggap mutlak antara luar dan dalam. Semua mahasiswa berhak berproses di mana saja, saya tidak berharap ada lagi ada upaya represifitas, Bukankah semua organisasi mengajarkan kebaikan? bukankah semua organisasi adalah tempat untuk menempa kognisi, wawasan dan kepekaan? Saya rasa, semua orang yang mengaku waras akan menjawabnya “iya”. Jika ada yang tidak beres di suatu organisasi, saya yakin bukan berasal dari organisasinya, melainkan orang-orangnya. Tabik, salam sayang!